Pagi masih buta tatkala Karto mengayuh becaknya menuju Pasar Legi. Di
sudut Utara Pasar Legi Solo situlah tempat Karto bersama beberapa
rekannya menunggu penumpang. Profesi sebagai penarik becak memang sudah
dilakukan Karto sejak ia muda. Karto yang saat itu hanya pemuda desa
dan lulusan Sekolah Dasar memilih menjadi penarik becak lantaran
pekerjaan tersebut hanya mengandalkan tenaga saja. Dia menikah dengan
seorang gadis bernama Ratmi yang bekerja sebagai buruh pengupas bawang
di Pasar Legi. Dari hasil pernikahan itu, Karto dikaruniai 2 orang anak
bernama Januar dan Yuni.
*****
Pagi itu tepat jam 07.00 Wib, Januar sudah
berdiri di depan gedung Auditorium UNS. Sinar bahagia tergambar jelas
pada raut mukanya. Yah, hari ini merupakan hari Pelepasan Wisudawan
Wisudawati UNS dari jenjang Sarjana sampai Doktor, dimana Januar adalah
salah satu wisudawan dari fakultas kedokteran yang lulus dengan predikat
cumlaude. Dengan penuh percaya diri Januar
segera masuk ruang Auditorium berbaur dengan banyaknya calon wisudawan
lain. Bergegas dia menuju kursi di nomor B-1 5. Yakni di bagian Barat,
baris no 1 dan urutan ke 5.
Prosesipun berjalan lancar, hingga tiba
saatnya Januar maju ke arah Dekan Fakultas Kedokteran UNS, menerima
ijazah, memindahkan tali pada topi toga, seraya berjabat tangan dengan
sang Dekan.
“Selamat Januar” ucap Pak Dekan berwibawa
“Terima kasih Pak” sahut Januar terbata
Kristal-kristal air mata nampak jelas di
mata Januar. Dia yakin jika kedua orang tua serta adiknya bangga bisa
menyaksikan dirinya berhasil meraih gelar sarjana. Dia yakin bapak
ibunya pasti akan menangis haru melihat prosesi itu dari layar di luar
gedung auditorium sana. Hingga begitu seluruh rangkaian acara selesai,
Januar segera menghambur ke luar gedung. Matanya mencari-cari di mana
kedua orang tua dan adiknya berada. Entah sudah berapa lama dia mencari,
namun tak juga bisa menemukannya.
Tanpa ragu Januar merogoh saku celananya, dan mengeluarkan HP jadulnya. Dicarinya nomor adiknya Yuni.
“Halo, Assalamu’alaikum” Januar membuka percakapan
“Wa’alaikum salam mas, sudah selamat ya mas!” jawab Yuni dari sebrang sana
“Makasih dek, posisi adek, bapak, dan ibu disebelah mana?” Januar nampak semakin penasaran
“Mas tenang saja, tapi maaf kami cepat pulang karena bapak masuk angin. Sekarang mas pulang ya!” jawab Yuni
“Oke-oke, mas segera pulang” jawab Januar sembari menutup pembicaraan
Setelah pamit dengan teman-temannya, Januar
segera meluncur ke rumah dengan motor bututnya. Dia bahagia sekaligus
cemas. Bahagia karena akhirnya bisa menyelesaikan kuliahnya. Cemas
karena ayahnya yang tiba-tiba sakit. Dan begitu masuk di gang menuju
rumahnya, nampak beberapa tetangganya. Nampaknya juga bermaksud membezuk
bapaknya. Namun begitu sampai di teras rumahnya, Januar merasa limbung
dan hampir terjatuh. Beberapa tetangga membantunya berdiri. Januar
benar-benar kaget luar biasa mendapati Yuni dan ibunya menangis tersedu.
“Ibu, adek, ada apa ini?” tanya Januar penasaran
“Bapakmu nak” jawab sang ibu sembari menangis
Bertiga mereka menagis berangkulan.
Ternyata saat hendak menghadiri undangan wisuda Januar, becak yang
dikendarai Pak Karto terserempet kereta api bengawan di Jalan Slamet
Riyadi. Di sana memang rel kereta api menjadi satu dengan kendaraan
lain. Dan Pak Karto meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
“Bapak, maafin Januar ya Pak” isak Januar di sisi jasad bapaknya yang terbujur kaku
“Januar sudah berhasil menyelesaikan kuliah seperti harapan bapak, tapi Januar belum sempat membahagiakan bapak”
Acara pemakaman sore itu berjalan lancar
Setelah disucikan dan dikafani, jenazah Pak Karto lantas disholatkan di
masjid tak jauh dari rumahnya. Sebelum akhirnya dibawa ke tempat
peristirahatan terakhir di TPU di desanya. Beberapa keluarga, tetangga,
dan teman-teman Januar maupun Yuni turut memberikan penghormatan
terakhir.
Tiba saatnya Januar harus merelakan
kepergian bapaknya. Januar masuk ke liang lahat. Dengan berjongkok dia
mengumandangkan adzan. Suaranya begitu jelas namun terdengar bergetar
seolah menyayat hati semua yang hadir.
Saat para pelayat satu persatu meninggalkan
areal pemakaman, Januar, Yuni, dan ibunya masih berdo’a di atas tanah
makam yang merah. Semerbak bunga tabur masih jelas tercium. Bertiga
mereka melepas orang tercinta, yang selama ini sudah bekerja keras demi
keluarga. Bergantian mereka mencium batu nisan, sebelum akhirnya
melangkah gontai meninggalkan areal pemakaman. Rinai hujan turut pula
mengiringi langkah kaki ketiganya
******
Penulis :
Lihat Sumbernya : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/05/10/pak-karto/
0 komentar