Mencintai dengan Setulus Hati

Diposting oleh Unknown Rabu, 06 Juni 2012 ,

Mencintai dengan Setulus Hati

Cerpen Mila Rasuly Dewi

Disini, aku hanya sebagai orang ketiga yang menceritakan betapa hebatnya kekuatan seorang wanita. Betapa kesalahan masa lalu tidak pernah menyurutkan semangatnya untuk memperbaiki hidup. Betapa penyesalan tidak membuatnya terkurung didalam kesedihan.

Keluargaku mempunyai panti asuhan. Cukup banyak bayi-bayi mungil dan juga sepasang bayi kembar yang meramaikan panti ini, beberapa bocah balita, dan sisanya anak-anak di bawah umur 8 tahun. Setiap hari selalu kusempatkan waktuku untuk mengunjungi mereka, disela-sela waktu senggangku yang sebenarnya tidak sibuk dengan pekerjaan. Hal itu sengaja aku lakukan agar aku punya waktu luang untuk mengunjungi mereka setiap harinya. Bermain bersama mereka, melihat mereka tertawa, benar-benar membuat hariku terasa sempurna. Bertemu mereka bukan lagi kewajiban tapi merupakan sebuah kebutuhan.

Cerita ini bermula ketika sore itu aku mengunjungi panti seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa di sana. Aku melihat seorang wanita paruh baya yang berusia sekitar 40 tahunan sedang bermain-main dengan salah satu anak. Awalnya aku mengira mungkin hanya salah satu calon orang tua asuh yang sedang mencari anak angkat, jadi wajar saja. Sesaat hatiku sedih karena aku pikir aku akan kehilangan anak asuhku yang lucu. Tapi, aku tahu aku tidak boleh egois, karna anak-anak itu berhak memperoleh kebahagiaan.

Aku menyapa wanita itu dan tersenyum. Dia juga membalas senyumku. Seperti biasa ketika sampai ke panti aku selalu diserbu oleh bocah-bocah mungil itu, sehingga perhatianku segera teralihkan kepada mereka. Ternyata wanita itu datang setiap hari, kejadian itu berlangsung selama beberapa minggu, yang membuatku mulai penasaran. Sebenarnya apa yang diinginkan wanita ini? Kalau dia ingin mengangkat anak kenapa dia harus mengulur-ngulur waktu seperti ini? Lalu aku bertanya kepada para pengasuh di pantiku. Mereka menjawab wanita ini memang meminta izin untuk bisa selalu berkunjung ke sini. Wanita ini sebenarnya adalah pasien di rumah sakit yang lokasinya berdekatan dengan pantiku berada. Kata mereka sih wanita ini sedang dalam kondisi fit yang memungkinkan dia mendapat izin untuk keluar dari rumah sakit. Sebenarnya aku sedikit heran, malah curiga. Apa wanita ini jujur? Sebenarnya apa sih yang dia mau? Para pengasuh tidak mengusir wanita tersebut karena kehadirannya memang sangat membantu dan entah kenapa para balita itu bisa dekat dengannya.

Suatu hari aku menyempatkan diri untuk mengunjungi panti lebih awal karena aku memang memiliki tujuan untuk berbicara kepada wanita itu. Pada hari-hari sebelumnya aku tidak bisa mengajaknya bicara karena ketika aku tiba dia sudah hendak pergi. Aku langsung menghampirinya yang sedang menimang bayi Nisa. Nyanyian lembut dilantunkan oleh bibirnya. Aku jadi tidak enak menganggu karena aku jadi tidak yakin bahwa wanita ini mempunyai niat buruk. Tatapan matanya begitu penuh kasih, begitu ikhlas. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri wanita tersebut karena paling tidak aku harus mengetahui siapa dia dan apa maunya.

“Halo.” Sapaku. Wanita itu mengangkat wajahnya dan tersenyum.

“Halo juga.” Jawabnya.

“Apa dia tidur?” Tanyaku sambil berjinjit menghampiri bayi Nisa. Bayi itu tertidur khitmat didekapannya.

Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Lalu ia meletakkan bayi itu di boxnya dan kembali menatapku. “Saya minta maaf karena sudah datang ke sini tanpa izin. Pasti kamu bertanya-tanya.”

Aku menganggukkan kepalaku. “Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan kedatangan Anda karena pengasuh yang lainnya tidak merasa tertanggu dengan kehadiran Anda. Dan juga sepertinya bocah-bocah cilik ini sangat menyukai Anda.” Wanita itu kembali tersenyum. “Tapi saya memang bertanya-bertanya, kenapa Anda kesini? Sebenarnya apa yang Anda inginkan? Apa Anda ingin bekerja disini? Tapi saya dengar Anda pasien rumah sakit di dekat panti ini.” Aku menutup mulutku dengan tangan ketika menyadari aku terlalu banyak bertanya.

Wanita itu tertawa. “Tidak apa-apa kok. Wajar kalau kamu penasaran.” Wanita itu menarik nafasnya sebelum kembali membuka mulutnya, “Saya memang pasien di rumah sakit itu. Pasien tetap malah. Sudah hampir 3 bulan saya berada di sana karna penyakit yang saya derita. Penyakit ini sudah semakin parah sehingga mau tidak mau saya harus tetap tinggal. Kebetulan saya juga tidak punya keluarga.” Wanita itu menundukkan kepalanya. Aku hanya mendengar kata demi kata terucap dari bibirnya.

“Dulu saya ini wanita yang nggak bener. Yang menjajakan diri demi sesuap nasi.” Wanita ini kembali menatapku. “Hingga akhirnya saya seperti ini, tua dan penyakitan. Bisa dibilang saya sudah tidak laku di pasaran lagi.” Dia tertawa. “Tapi bukan itu yang membuat saya berhenti melakukan perbuatan bejat itu, ini memang penyesalan. Sudah banyak sekali dosa yang saya lakukan dan tidak heran mengapa Tuhan menghukum saya seperti ini. Sekarang saya sendiri, menghadapi maut sendiri.” Aku terdiam. Tidak sepatah katapun yang terucap dari bibirku ketika mendengar cerita wanita ini. “Dosa saya bukan hanya melakukan perbuatan hina seperti itu, tapi juga membunuh. Sudah berapa kali saya hamil dan saya menggugurkan kandungan begitu saja, seolah-olah janin itu bukanlah sesuatu yang berharga.” Wanita itu menarik nafasnya berat. “Saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki kesalahan. Rasanya memang tidak ada yang bisa saya lakukan. Waktu tidak bisa diputar, penyesalan selalu datang belakangan.” Kemudian dia tersenyum dan menyentuh tanganku, “Kemudian saya mendengar cerita kalau di dekat rumah sakit ada panti asuhan. Saat itu yang ada dipikiran saya hanyalah janin-janin yang selama ini telah saya bunuh, telah saya rebut hak hidupnya. Sebelum ajal menjemput, saya hanya ingin merasakan sentuhan lembut mereka, tatapan mata mereka, mendengar tangisan mereka. Dan ketika pertama kali saya datang ke sini, ketika mereka menghampiri saya, mengulurkan tangan mungil mereka, saya merasa penjahat paling keji di dunia karna telah tega mengambil hak hidup seseorang. Tidak ada memang yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki semuanya, tapi saya ingin sekali saja dalam hidup saya melakukan perbuatan baik. Seharusnya saya meminta izin dari awal, saya minta maaf.”

Aku refleks menggelengkan kepalaku. “Anda bisa datang kesini kapanpun Anda mau. Tapi saya harap hal ini bukannya malah memperparah penyakit Anda.”

“Tidak. Tidak. Seperti yang saya bilang tadi, saya sudah mendapat izin dari dokter rumah sakit. Memang sudah waktunya saya menikmati saat-saat terakhir saya.”

“Maaf, kalau boleh saya bertanya, Anda sakit apa?” Wanita itu diam sesaat lalu kembali tersenyum, “Hepatitis B kronis yang saat ini sudah mengarah kepada kanker hati.”

Aku tersentak kaget. Aku tidak memiliki pengetahuan di bidang kedokteran, tapi aku cukup mengetahui kalau penyakit ini berbahaya. Penyakit yang mungkin saja disebabkan oleh pekerjaan masa lalu wanita ini. Tidak heran dia mengatakan bahwa umurnya tidak akan lama lagi.

“Kata dokter kemungkinan saya ditularkan oleh salah satu atau malah beberapa pria yang membayar saya. Harusnya jika penyakit ini lebih cepat disadari mungkin bisa disembuhkan. Tapi saya bukanlah orang yang berpendidikan, ketika merasa sakit saya hanya berpikir ah itu hanya penyakit biasa. Hingga pada akhirnya berkembang dan kemudian kronis.”

“Saya tidak butuh belas kasihan karena sebenarnya saya memang tidak pantas untuk dikasihani. Inilah hukuman saya dan saya harus menjalaninya. Tapi saya mohon, izinkan saya untuk menghabiskan waktu bersama mereka, menganggap seolah-olah mereka anak-anak yang harus saya sayangi. Saya tidak butuh obat-obatan, saya hanya butuh merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu.” Aku terdiam. Jujur tidak ada kalimat yang bisa terlontar dari bibirku. “Saya tidak tahu entah sampai kapan saya mampu bertahan, mampu untuk berjalan, mampu untuk melangkah karena sebenarnya dokter sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk tetap beristirahat. Tapi biasanya ketika ajal datang menjemput seseorang akan merasa badannya ringan dan sehat, mungkin karena memang ada tugas yang harus dia selesaikan.”

“Tapi, saya masih tidak bisa percaya. Jika penyakit Anda memang sudah kronis harusnya Anda tidak diperbolehkan keluar dari rumah sakit sendirian.”

Wanita itu kembali tersenyum. “Sebenarnya ada suster yang selalu menemani saya, tapi ditengah jalan selalu saya suruh kembali karna saya tidak ingin terlihat sangat sakit sehingga membuat kalian tidak bisa menerima kehadiran saya karena khawatir.”

“Tidak, saya tidak khawatir tentang anak-anak disini. Entah kenapa saya memang percaya bahwa Anda memang tidak mempunyai niat buruk. Tapi, saya khawatir dengan Anda.” Aku terdiam sesaat. “Bagaimana kalau mulai besok Anda izinkan saja suster tersebut mengantarkan anda kesini dan pulangnya saya akan menyuruh pengasuh untuk mengantar Anda. Saya yakin mereka juga tidak akan keberatan.”

“Saya tidak ingin merepotkan.” Saya menyentuh tangan wanita itu. Entah perasaan apa ini, kasihan? Sedih? Pilu? Tapi sepertinya saya telah menyayangi wanita ini hanya dalam sekejap.

“Anda bebas datang kesini, kapanpun. Saya tidak akan menghalangi Anda. Tapi saya mohon tolong jaga kesehatan Anda. Mungkin penyakit Anda memang sudah parah dan malah waktu Anda mungkin memang tidak banyak tapi bukan berarti Anda harus menyerah. Jadi saya mohon, penuhi permintaan saya yang satu ini.”

Wanita itu memejamkan matanya. “Saya tidak mengerti kenapa masih ada yang mau berbuat baik kepada saya.”

“Anda memang melakukan kesalahan di masa lalu, tapi bukan posisi saya unuk menghakimi Anda.”

Wanita itu mengangguk pelan. “Terima kasih banyak.” Aku tersenyum dan balas mengangguk.

Sejak hari itu wanita yang ternyata bernama Tantri itu sudah menjadi bagian dari kami. Dia mengurus panti seperti pengasuh lainnya. Aku tahu dia bahagia. Hal itu tampak dari binar matanya ketika menatap para malaikat mungil itu. Kadang merasa bahagia adalah penyembuh yang paling mujarab.

Hampir setahun berlalu dan semuanya berjalan begitu cepat. Tiba-tiba ibu Tantri semakin jarang berkunjung. Sebelumnya suster memang sudah mengatakan bahwa ibu Tantri memang dalam kondisi yang tidak sehat yang tidak memungkinkan dia untuk keluar dari rumah sakit. Berkurangnya waktu kunjungan itu kemudian berkahir pada tidak pernah melakukan kunjungan. Anak-anak mulai menanyakan kemana dan apa yang terjadi dengan dia. Aku hanya tersenyum karna memang tidak tahu mau menjawab apa.

Lalu suatu hari aku merasa sudah saatnya aku mengunjunginya. Aku tidak tahu mengapa tapi hati kecilku menyuruhku untuk menjenguknya. Sehari sebelumnya aku mengatakan kepada anak-anak bahwa aku akan mengunjungi ibu Tantri dan mereka berebutan ingin ikut. Tapi aku tidak mungkin mengajak mereka karena jika penyakitnya memang sudah sangat kronis sepertinya tidak bijaksana membawa mereka ke sana. Lalu aku mengatakan kepada mereka bahwa mereka memang tidak bisa mengunjungi ibu Tantri tetapi mereka bisa menulis surat. Aku akan memastikan surat itu dibaca olehnya. Ternyata esoknya surat itu memang ditulis anak-anak, dengan dibantu para pengasuh anak-anak mengungkapkan perasaan mereka dan ucapan terima kasih.

Aku memasuki ruangan itu. Hatiku pilu ketika melihatnya terbaring tidak berdaya di tempat tidur. Ketika sebelumnya yang kulihat hanya tawanya bersama anak-anak panti. Dengan menahan air mata aku menghampirinya. Sebenarnya aku tidak ingin membangunkannya karena sepertinya membuka mata saja merupaka hal yang sulit dilakukan. Namun tampaknya dia menyadari kehadiranku karena kemudian aku melihat kelopak matanya bergerak. Dia menatapku dan tersenyum. Aku membalas senyumnya dan menyentuh tangannya.

“Gimana kabar anda?” tanyaku. Dia hanya menggelengkan kepalanya lemah. Aku berdehem pelan berusaha menghilangkan air mata yang hendak menetes di pipiku. “Anak-anak menulis surat untuk anda dan saya mendapatkan tugas istimewa untuk mengantarkannya kepada anda.” Wanita itu tersenyum simpul. Aku membuka surat itu dan membacanya.

“Buat Ibu Tantri, Ibu kemana saja? Kenapa sudah lama tidak mengunjungi kami? Padahal kami rindu ingin bermain bersama ibu, ingin mendengar cerita ibu.” Aku menelan ludahku sebelum kemudian kembali melanjutkan membaca surat tersebut. “Kata mbak-mbak disini ibu sakit parah, makanya ibu tidak bisa kemari lagi. Kami tidak ingin ibu sakit, kami ingin ibu sehat. Ibu harus sehat biar kita bisa bermain lagi. Kami akan berdo’a setiap saat agar ibu bisa sehat lagi.” Tidak bisa kutahan air mata ini lagi. Air mata itu jatuh satu persatu membasahi pipiku. Kalau ingin menuruti perasaan aku tidak sanggup melanjutkan membacanya. Ibu Tantri menyentuh tanganku memintaku untuk melanjutkan. “Sebenarnya mbak-mbak pengasuh yang lain baik-baik, kami sayang kok dengan mereka. Tapi Cuma ibu yang mempunyai banyak cerita. Ceritanya seru-seru banget. Trus Cuma ibu yang bisa menyanyi dengan suara merdu, mbak-mbak yang lain mah suaranya jelek-jelek.” Senyum tersungging dari bibir wanita itu. “Makanya ibu harus cepet sembuh. Biar kita bisa main lagi. Si kembar malah kayanya juga kangen karena akhir-akhir ini sering nangis dan gak mau diem kalo digendong. Yang lain juga gak mau makan kalo nggak disuapin ibu. Cepat balik ya ibu ato kalo perlu ibu tinggal disini aja bareng kita. Biar kita bisa sama-sama terus. Kita gak bakalan bikin ibu sakit, ibu pasti sembuh. Sekarang sebelum tidur kita selalu berdoa buat kesembuhan ibu. Tuhan pasti mendengar do’a kita. Ibu pasti akan sembuh. Cepat kembali ya ibu Tantri, kami sangat merindukan ibu. Mbak-mbak disini menyuruh kami untuk mengucapkan terima kasih kepada ibu, awalnya sih kami gak mau soalnya kamikan bisa mengucapkannya langsung kepada ibu, tapi daripada diomelin jadi kami turutin saja. Makasi ya ibu, atas semuanya. Atas kebaikan ibu. Atas kasih sayang ibu. Kami memang anak-anak yang tidak beruntung karena tidak memiliki orang tua, tapi kami juga gak kalah beruntungnya karena pernah bertemu dengan ibu. Semoga setelah membaca surat ini ibu bisa sembuh dan bisa bermain bersama kami lagi.” Aku melipat kertas itu. Menatap wanita tua yang baru setahun lebih aku kenal. Dia mengangkat tangannya dan menyentuh wajahku. Air mata kembali membasahi pipiku, kali ini aku terisak-isak di hadapannya. Tidak satupun kata yang terucap dari bibirnya juga bibirku. Tapi aku mengerti tatapan penuh rasa terima kasih itu. Aku menganggukkan kepalaku dan mencium tangannya.

Aku hendak mengunjungi ibu Tantri lagi ketika berita itu datang. Seorang suster datang dan memberikan sepucuk surat. Semalaman ibu Tantri mencoba mengucapkan kalimat untuk dituliskan suster tersebut di secarik kertas. Badanku seketika lemas ketika melihat suster itu hanya menggelengkan kepalanya dan menyerahkan surat itu. Dihadapan para pengasuh dan anak-anak aku membaca surat itu.

“Anak-anakku yang manis. Terima kasih karena selama ini kalian menerima ibu dengan kasih sayang. Ibu juga sangat menyayangi kalian dan kalau bisa ibu ingin meminta kepada Tuhan untuk memberikan umur yang panjang agar ibu bisa bersama kalian. Tapi itu tidak bisa, sudah waktunya ibu untuk pergi. Maafkan jika ibu ada salah selama ini. Hanya kalianlah yang ibu miliki saat ini. Hanya kalianlah harta ibu. Jadilah anak-anak yang baik dan manis sehingga tidak merepotkan mbak-mbak kalian ya.” Aku terisak. Tidak bisa kuungkapkan betapa hancurnya hatiku ketika membaca surat ini. “Mungkin ibu memang tidak bisa bermain bersama kalian lagi, tapi percayalah ibu akan menjaga kalian dari jauh, mengamati pertumbuhan kalian, dan menyaksikan kebahagian kalian. Maka jadilah anak-anak yang bahagia, yang selalu tersenyum, yang selalu kuat bahkan disaat susah. Kalian harus ingat itu. Karena jika kalian bahagia kalian akan selalu merasa sehat seperti yang akhir-akkhir ini ibu alami. Kebahagiaanlah yang membuat ibu bisa bertahan selama ini dan kebahagiaan itu adalah kalian. Terima kasih atas semuanya, atas semua kesempatan yang sudah kalian berikan. Tidak ada yang bisa ibu berikan untuk membalas kebaikan kalian yang telah memberikan kesempatan bagi wanita tua ini untuk berbuat kebaikan diakhir hidupnya. Percayalah, cinta ibu untuk kalian tidak akan pernah habis walau badan itu sudah melebur menjadi abu. Cinta ibu untuk kalian tetap abadi selamanya walau ibu tidak bersama kalian lagi. Anak-anakku, pesan ibu hanya satu, berbahagialah dengan semua yang kalian miliki saat ini. Tidak ada yang kurang dari kalian, kalian adalah makhluk yang paling sempurna yang selama ini pernah ibu temui dan percayalah kalau suatu saat banyak orang yang akan mencintai kalian.” Aku melipat surat itu. Tidak ada kata yang terucap baik dari bibir anak-anak ataupun dari para pengasuh. Mungkin anak-anak tidak terlalu paham tapi aku yakin mereka paham akan maksud yang ingin disampaikan ibu Tantri di suratnya. Aku menutup mulutku, terisak menahan tangis.Tidak sanggup menanggung duka karena kehilangan seseorang yang aku sadari kini sangat aku sayangi.

Aku berdiri di depan pusara itu. Hanya itulah yang tersisa dari ibu Tantri. Hanya pusara itulah kenanganku akan dirinya. Tidak ada keluarga yang mengambil jenazah ibu Tantri. Lalu aku memutuskan untuk mengurus pemakamannya. Mengajak keluargaku, dan para pengasuh, serta suster yang selama ini mengurusnya untuk hadir dan mendo’akannya. Hanya kamilah yang dia punya, hanya kamilah keluarganya dan sampai kapankun kami tidak akan meninggalkannya, tidak akan melupakannya. Do’a akan selalu mengalir dari mulutku, dari mulut kami semua, dan dari anak-anak panti. Dialah guru bagi kami, seseorang yang mengajarkan tentang ketegaran dan kekuatan. Seseorang yang mengajarkan bagaimana untuk menghadapi kehidupan. Kesalahan ada bukan untuk diperbaiki tapi kesalahan ada sebagai pelajaran bagi kita untuk menapaki masa depan. Dan ibu Tantri adalah wanita tegar yang telah mengalami itu semua.Dialah wanita yang mencintai dengan setulus hati.

________________

Mila Rasuly Dewi, bisa dihubungi melalui email: misstaraxacum@yahoo.com
Bisa pula berkunjung ke blog pribadinya: http://milikun.blogspot.com/

Sumber : http://kumpulanfiksi.wordpress.com/2012/05/30/mencintai-dengan-setulus-hati-cerpen-mila-rasuly-dewi/

Pengen tulisan kamu terbit di Kumpul Remaja? Silakan kirimkan tulisan kamu di Facebook Fanpage Kumpul Remaja atau di komentar di bawah postingan ini. Sertakan identitasmu baik itu facebook, twitter atau blog kamu.!

Share on :


Artikel Terkait:

2 komentar

  1. Yanz Jasad Says:
  2. Makasi Atas karianya >>> sumpah bagus bagus ... ??
    TERUS BERKARIA

     
  3. makasih infor masinya nya dan karianya sip banget deh... ?

     

Posting Komentar

Adsense Indonesia

Followers

Berita Populer Minggu Ini