Air mata Samtari

Diposting oleh Unknown Rabu, 16 Mei 2012

Saya tidak habis pikir bagaimana Samtari dan keluarganya betah hidup di tempat ini. Di tengah kota yang sudah tertancap gedung-gedung pencakar langit, dia tinggal menggantung di bawah kolong jembatan yang sudah tidak lagi digunakan. Saya katakan menggantung karena lantainya adalah potongan-potongan kayu yang bertengger di atas beton penyanggah bawah jembatan. Entah masuk kategori unik atau nekat, dari tempat saya duduk, dengan menoleh ke bawah, terlihat aliran kali yang akan membawa apapun benda yang jatuh dengan arusnya. Jujur, agak ngeri juga lantaran malam ini saya akan menginap di sini bersama keluarga Samtari. Tapi saya cukup terhibur mengingat kegiatan ini demi acara televisi yang biasa mengungkap kehidupan orang-orang yang terpinggirkan dari lingkungannya.

Tidak banyak perabot rumah. Hanya kompor butut dengan tabung gas tiga kilo dan beberapa kotak kecil kayu untuk menaruh baju. Beberapa paku ditancapkan sebagai gantungan baju dan alat masak. Tidak lebar, sekitar empat kali enam meter luas ruangan ini. Hanya ada satu penyekat menyerupai kamar di pojokan, mungkin digunakan untuk Samtari dan istrinya ganti baju. Meski begitu, entah dari mana sambungannya, ruangan ini sudah dialiri listrik.

“Hampir lima tahun saya hidup di sini.” Jawab pria paruh baya itu disorot kamera setelah saya tanya. “Khawatir juga sih takut anak atau istri saya kecebur kali, tapi mau gimana lagi? Capek digusur terus.”

“Ada enaknya juga tingga di sini,” tiba-tiba istri Samtari menimpali. Wanita itu sedari tadi mengusap-usap kening anaknya yang sedang sakit panas. Setelah menceburkan kain kompres ke wajan dia meneruskan kalimatnya, “Kadang saya dapet sayuran bekas yang di buang pedagang di pasar sana.” Tangan istri Samtari menunjuk ke selatan. “Mungkin abangnya males bawa pulang sayur yang tidak laku. Daripada layu sampai rumah makanya dibuang ke kali. Buat saya, biar cuma kangkung sama bayem, lumayan buat disayur.”

“Pakai apa ibu mendapatkan sayuran itu?” tanya saya penasaran mengingat butuh waktu lama ketika dia lihat sayuran ngambang lalu turun ke bawah.

Ujung bibir wanita itu menunjuk ke atas. Mata saya melihat ada bambu panjang yang di gantung dengan mengikat kedua ujungnya dengan seutas tali. Di ujung bambu yang lebih kecil diameternya ditempel semacam serokan ikan. Ternyata selain berfungsi sebagai jemuran, benda itu juga untuk mengambil benda-benda beharga yang mengalir melintasi “rumah” Samtari.

Bersandar di tiang besi, Samtari terkekeh mendengar perkataan istrinya. Lantas dia membakar rokok yang sudah menclok di bibirnya. “Semua sandal yang kami pakai itu juga dapat dari aliran kali. Biar sebelah kiri beda sama kanan, yang penting telapak kaki gak terkena tanah. Sama saja.”

Pasangan suami-istri itu tertawa bersamaan. Produser acara juga tersenyum dan mengacungkan jempol ke saya. Tiba-tiba saya merasa kemiskinan tidak selalu membawa kemurungan dalam hidup.

Setelah minum teh dan mencaplok dua potong singkong rebus, saya ikut Samtari memulung sampah di penampungan. Menggunakan besi tipis yang ujungnya telah dicekung, saya mengurai tumpukan sampah. Samtari tinggal memilah mana sampah yang masih layak untuk dijual. Jangan ditanya bagaimana aroma tempat itu. Busuk. Kain yang menutupi hidung saya tidak dapat berbuat banyak. Andai bukan untuk keperluan syuting, tidak mungkin mama mengizinkan saya ke tempat ini.

“Sudah Nak gak usah dibantu.” Tangan Samtari berusaha mengambil kembali besi penyungkil dari genggaman saya. Dia sepertinya tidak tega melihat saya beberapa kali menahan napas dan hampir muntah.

“Jangan, Pak,” tukas saya menyibak tangan Samtari. Menghadap kamera saya membuka kain penutup hidung dan berkata: “Membantu Pak Samtari membuat saya sadar bahwa benda yang tadinya kita kira tak berharga merupakan rejeki orang lain.” Kepala saya gelengkan dan kemudian mencungkil lagi sampah yang menggunung.

Sekali lagi saya lihat produser acara tersenyum dan menunjukan jempol tangannya kea rah saya.

Dari keterangan Samtari dia bisa mendapatkan 40 ribu dalam sehari. Itu pun kalau lagi mujur. Biasanya sampah yang dia kumpulkan berupa gelas plastik air mineral, kardus, besi bekas atau tembaga-tembaga yang ada di lapisan kabel atau dari barang elektronik yang rusak.

“Plastik sama kardus mah gak seberapa harga perkilonya. Lebih enak jual tembaga. Tapi jarang dapet tembaga di sini. Pemulung sampah keliling biasanya dapat lebih dulu. Malah sekarang pemulung keliling ada yang keluar jam 3 pagi.”

“Berarti saingan juga ya, Pak?” Tanya saya mengusap peluh yang basah di kening.

“Iya, Den. Bukan cuma pedagang yang saingan. Mulung juga sama. Yang dapat yang cepat.”

***

‎”Saya gak biasa.”

“Pura-pura Pak.” saran produser acara seraya tersenyum dan memutar pulpen di ujung jarinya. Setelah Samtari dapat uang hasil penjualan sampah di agen, produser acara meminta Samtari menangis karena dapat rejeki seperti itu. Sebenarnya tidak harus menangis, asal mengeluarkan air mata sedikit dicampur perkataan yang mengeluarkan isak, itu cukup.

“Pura-pura?”

“Iya!”

“Saya gak biasa pura-pura.” wajah Samtari polos memancarkan keheranan.

“Begini Pak,” sang produser mendekat dan memegang bahu Samtari. “Kalau acara ini tidak ada segmen, eh maksud saya bagian, tidak ada bagian gambar yang menayangkan Bapak menangis, tidak bagus. penonton tidak terharu. Hambar! Datar Pak istilahnya.”

“Wah saya gak ngerti itu. Yang pasti saya gak bisa dan gak biasa pura-pura. Apalagi pura-pura nangis. Gak bakal bisa. Pernah dulu saya jualan mie ayam dan gerobak saya diangkut trantib, saya gak nangis. Sedih sih sedih. Tapi gak perlu ditangisi. Lagian kalau saya nangis belum tentu tuh gerobak balik. Iya kan? Padahal gerobak itu boleh ngutang dan belum lunas. Bagi saya hidup itu mau kaya atau miskin, pasti ada masalah, dan ngadepinnya kita gak boleh cengeng. Saya masih ingat guru mengaji pernah bilang, Tuhan ngasih cobaan gak mungkin melebihi kemampuan hambanya.”

Produser acara tidak lagi tersenyum. Ada kerut kembar di kulit bagian atas dari alisnya. Topi bertuliskan Hard Rock Hongkong dia putar ke belakang. Sementara Samtari mengantongi uang hasil pendapatannya hari ini. “Pak Samtari…” nada suara terdengar sengaja dihaluskan. “Ini memang acara kisah nyata. Dan saya paham bapak gak terbiasa nangis, tap..”

“Bukan tidak biasa menangis, tapi tidak terbiasa pura-pura.” Cepat samtari memotong penjelasan produser acara. “Saya sebenernya nangis juga waktu sholat dan berhadapan Tuhan. Apalagi di sepertiga malam akhir setelah sholat tahajud. Mustahil saya bendung air mata. Itu beda soal, dosa saya memang banyak sebagai manusia. Tapi kalau nangis di depan kamera dan pura-pura, maaf, saya tidak bersedia.”

Lama juga produser acara mematung. Sepertinya dia tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti ini dari mulut Samtari. Begitu juga dengan saya. Tidak ada yang saya lakukan selain menonton percakapan mereka.

“Tapi kalau acara ini tidak ada adegan bapak menangis rating acara saya bakal turun!”

“Pak saya gak ngerti itu reting.”

“Begini deh, intinya kalau bapak tidak menangis juga, bisa jadi gagal tayang edisi ini. Bapak gak bakal masuk tivi. Keringat saya dan semua kru termasuk bintang tamu, percuma dari pagi tadi. Bapak tega?”

Samtari memandang istrinya yang tampak bingung mau berkata apa. Setelah mengambil napas dalam-dalam hingga dadanya terangkat, Samtari membuka mulutnya, “Maaf bukan begitu, bukan saya tidak mau membantu. Tapi acara ini juga bukan saya yang mau ikut. Adek sendiri yang dating ke saya, ya saya sambut. Tapi kalau memaksa saya mengeluarkan air mata, saya tetep tidak mau.”

Mendengar kalimat ini saya jadi kesal. Penutup hidung saya lepas dan membuangnya ke tanah. Baru kali ini saya mendapatkan orang miskin sesombong ini. Mungkin karena itu aroma busuk jadi tidak begitu terhirup lagi. “Bapak jangan begitu dong! Kalau gagal tayang saya malu dengan teman-teman kampus yang sudah tahu saya akan masuk tivi. Lagi pula masa pura-pura sebentar saja gak bisa. Aduh Pak, Pak, udah Miskin jangan banyak tingkah.”

Wajah Samtari memerah. Tapi saya tidak peduli lantaran produser acara seperti merestui kata-kata saya.

“Bapak kira sikap saya yang ramah dari tadi pagi itu murni? Sekarang ini zaman pura-pura, Pak. Jangan kolot.”

Wajah Samtari makin merah. Tapi setidaknya saya berhasil membuat ujung matanya berair.

***

Jakarta, 13 Mei 2012

Penulis :

Share on :


Artikel Terkait:

0 komentar

Posting Komentar

Adsense Indonesia

Followers

Berita Populer Minggu Ini