Kabut, kelam, asap, hitam
Panas, darah, api, merah
Aku tak dianggap lagi
Maka hancurlah negeri pasti
Zaman berubah, mereka turut serta
Masalah pecah, mereka pun murka
Negeri ramah tamah mereka bilang
Ah, omong kosong itu sekarang
Andai saja aku masih hidup
Ketika semua hati masih berbunyi
Lentera itu tak akan pernah redup
Benar salah pun tak mungkin terganti
Kau lihat meja berwarna hijau?
Di sana nyawaku dipertaruhkan
Sampai ketika yang mulia galau
Kemudian palu selesai dipukulkan
Di sana pula selalu terjadi
Aku hidup ataupun mati
Bukan cuma itu tapi
Di pemilihan lima tahunan
Di balik putusan pelelangan
Bahkan di setiap nilai rapor tahunan
Aku ditentukan
Oiya, maaf aku belum sampaikan perkenalan
Ku tahu kau tentu sudah kenal, hanya mungkin tak pernah liat
Kuduga kau muncul baru akhir-akhir ini
Saat aku sudah susah ditemui
Namaku sederhana saja
Keadilan
Bisa jadi aku sebuah misteri
Karena akupun tak tinggal sendiri
Aku hidup bersama nilai, prinsip, dan nurani
Kami tandatangani perjanjian
Sehidup semati
Nyawa kami banyak, tak usah kau bertanya
Sekali mati, kami tak pernah rugi
Musuh kami empat, kali ini kau boleh bertanya
Kujawab nafsu, tamak, benci, dan pelanggaran
Empat lawan empat
Bertempur di berbagai tempat
Pernah di bukit sogokan, pernah pula di lembah kekerabatan
Hutan korupsi, atau laut kekuasaan
Ketika para lawan membawa serta Tuhan-Tuhan
Harta, wanita, dan kekuasaan
Kami kewalahan menghadapi serangan
Kumohon maafkan kekalahan kami
Menyedihkan, andai kau tahu..
Nyawaku tinggal beberapa detik lagi
Kawan-kawan sudah lebih dulu bergelimpangan
Maka, tak ada alasan aku bertahan
Tolong sampaikan pada Tuhanmu
Hidupkan kami kembali nanti
Tubuhku mendingin, cahaya memburam
Tak ada lagi yang bisa kukatakan
Selain ucapan
“Selamat Tinggal”
Penulis :
Lihat Sumbernya
0 komentar