Sejak menyeruaknya kabar: akan
dirumahkannya beberapa karyawan dalam waktu dekat ini. Atmosfer di
tempat kerja terkesan seperti ‘hutan Afrika’. Sisik-sisik ular berbisa
mulai terlihat mengonggok di sudut-sudut ruangan. Bau bangkai tingkus
semakin tercium jelas dari arah ventilasi udara. Bulu-bulu domba yang
melekat di setiap kerah baju seragam pun—membuat kulit leher terasa gatal. Dan… suara-suara sok suci dari pemeran wayang topeng kehidupan pun—semakin santer terdengar.
Puluhan bahkan ratusan karyawan di
perusahaan ini…sesore tadi terlihat bermuram durja. Bahkan, ada sebagian
dari mereka yang menyembunyikan senjata: belati, pisau, celurit,
pistol, golok…, di dalam tas kerja mereka. Entah untuk apa senjata
tersebut. Entah untuk berjaga diri atau untuk berburu aku kurang tahu.
Tapi yang pasti, satu jam yang lalu… aku melihat ada ceceran darah di
lantai kamar mandi. Kukira itu darah haid dari salah satu karyawan
perempuan. Tapi ternyata, ceceran darah tersebut berasal dari punggungku
sendiri. Aneh?! Aku tak merasakan sakit sedikit-pun. Dan aku pun tak
menyadari bila punggungku telah tertikam dan mengeluarkan banyak
darah. Benar-benar aneh! Atau jangan-jangan… senjata yang dipakai untuk
menikam punggungku telah diberi obat bius—agar supaya aku
tak merasakan apapun ketika ditikam ataupun setelah ditikam. Tapi kenapa
juga aku tak mati? Padahal aku telah kehilangan banyak darah…
”Aneh?!”
***
Jam
istirahat makan siang kali ini sedikit berbeda. Kantin Bu Ijah yang
biasanya penuh sesak, kini terlihat begitu lengang. Kamar mandi yang
biasanya dipadati karyawan cabul yang hendak berbuat mesum pun terlihat
sepi senyap. Kemana mereka?
”Din, cepat ambil pedang!” Suara Kardiman mengagetkan aku.
Lantas, aku berlari ke arah jendela.. mencoba mencari tahu kenapa Kardiman berbicara seperti itu padaku. Dan ketika pandangku tertuju ke luar jendela. Terlihat: para karyawan perusahaan ini sedang saling serang. Ada yang tengah adu jotos, ada yang saling tikam, ada yang membacok, ada yang menendang, menjegal, dan… ah, pokoknya mereka saling serang seperti sedang berperang. Tak peduli tua-muda. Meraka tetap saling serang, saling tikam, dan mungkin saling bunuh. Tak peduli laki-laki ataupun perempuan. Mereka semua berperang: menyerang, bertahan, dan sepertinya mereka akan saling bunuh. Tak peduli atasan ataupun bawahan. Semua ikut berperang. Saling serang secara membabi buta. Menikam dari belakang. Dan membunuh siapa saja. Tak peduli tua-muda. Tak peduli laki-laki ataupun perempuan. Tak peduli atasan ataupun bawahan. Tak peduli… bahkan tanpa sadar, aku telah menjadi bagian dari peperangan tersebut. Aku ikut menyerang, kadang bertahan, lalu menikam, dan terkadang tertikam. Aku juga membunuh, tapi tak benar-benar membunuh. Sebab mereka yang kubunuh, tak mati setelah kubunuh. Malah, mereka yang telah kubunuh. Kini berbalik ingin membunuhku. Begitu sebaliknya; dan begitu seterusnya…
”Aneh?!”
Lantas, aku berlari ke arah jendela.. mencoba mencari tahu kenapa Kardiman berbicara seperti itu padaku. Dan ketika pandangku tertuju ke luar jendela. Terlihat: para karyawan perusahaan ini sedang saling serang. Ada yang tengah adu jotos, ada yang saling tikam, ada yang membacok, ada yang menendang, menjegal, dan… ah, pokoknya mereka saling serang seperti sedang berperang. Tak peduli tua-muda. Meraka tetap saling serang, saling tikam, dan mungkin saling bunuh. Tak peduli laki-laki ataupun perempuan. Mereka semua berperang: menyerang, bertahan, dan sepertinya mereka akan saling bunuh. Tak peduli atasan ataupun bawahan. Semua ikut berperang. Saling serang secara membabi buta. Menikam dari belakang. Dan membunuh siapa saja. Tak peduli tua-muda. Tak peduli laki-laki ataupun perempuan. Tak peduli atasan ataupun bawahan. Tak peduli… bahkan tanpa sadar, aku telah menjadi bagian dari peperangan tersebut. Aku ikut menyerang, kadang bertahan, lalu menikam, dan terkadang tertikam. Aku juga membunuh, tapi tak benar-benar membunuh. Sebab mereka yang kubunuh, tak mati setelah kubunuh. Malah, mereka yang telah kubunuh. Kini berbalik ingin membunuhku. Begitu sebaliknya; dan begitu seterusnya…
”Aneh?!”
Kami tak
merasa mati, walaupun telah berkali-kali terbunuh. Kami tak merasa
berdosa, walaupun sudah berkali-kali membunuh. Kami tak merasa lelah,
walaupun terus berperang siang dan malam. Kami… kami… kami ini aneh….
Suka sekali berperang tanpa alasan yang jelas. Suka sekali menikam
terlebih bila dari arah belakang. Suka sekali membunuh walaupun tahu
bila hal tersebut adalah dosa. Suka sekali… ah, suka-suka. Ya, suka-suka
kami. Suka-suka kami mau berbuat apa…. Suka-suka kami mau berkata apa….
Suka-suka kami mau melakukan apa…. Suka-suka kami sebagai manusia—yang gemar: berbuat, bertindak, bersikap, berbicara, bergerak, serta berfikir sesuka hati.
“ANEH! Kalian semua aneh!” teriak para binatang dan tumbuhan yang
menyaksikan peperangan kami sedari tadi, sedari kemarin, sedari dulu,
dan mungkin sedari esok dan seterusnya…
***
^
^
^
Parakan, 9 September 2012
- Rengga Bagus Nanjar -
^
NB: Fiksi ini hasil hybrid dari status facebook (sudah diedit ulang serta dimatangkan sesuai dengan kapasitas penulisnya) …tapi pasti masih ada banyak cacat serta kekurangannya di sana-sini. Jadi, mohon dikritik dan diberi masukan, ya. :D Thanks
Penulis :
0 komentar