Aya bolak balik melihat ponselnya, berharap
ada pesan singkat yang masuk. Dia sedang menunggu Tama, mantan pacarnya
yang memutuskan hubungan dengan Aya, sebulan sebelumnya. Hari sudah
malam ketika Aya menemui ibunya di ruang tamu, “Ma, sepatunya udah jelek
nih. Minta uang nyai ya?” (Nyai berarti Nenek dalam bahasa Bangka
Belitung) ibunya membalas dengan tatapan menegur. “Jangan, kamu itu
bisanya minta terus, malu tahu !” Aya membela diri, “..tapi nyai gak
pernah marah kalau di minta, boleh ya telepon nyai?” katanya
merengek-rengek. Ini kali keduanya Aya meminta uang pada nyainya di
Sungailiat (Salah satu kabupaten di pulau Bangka).
Nyai Yang, nenek Aya selalu senang kalau di
telepon. Siapapun yang meneleponnya pasti sambutannya hangat. Setahun
berlalu semenjak Atok (panggilan kakek dalam bahasa Bangka) meninggal
dunia. Nyai yang begitu kesepian hingga sering menelepon kemana saja.
Hobinya yang suka merequest lagu di RRI Bangka makin
menjadi-jadi setelah atok wafat. Aya yang masih remaja dan terlalu naïf
untuk memahami kesepian nyainya, memanfaatkan kesempatan itu untuk
meminta uang dan bermanja-manja dengan nyainya.
Ibunya mendengus kesal, “Ya terserahlah..”
kata ibunya menyerah. Apapun yang terjadi, Aya selalu menang untuk
mendapatkan apapun keinginannya. Aya hanya ingin belanja setelah Tama
putus, dengan berbelanja dia bisa sedikit menghapus Tama dari
hari-harinya. Aya terpukul atas kejadian itu, tidak dapat dipungkiri
bahwa dia tidak bisa melupakan Tama. Naluri remajanya mengatakan dia
belum pernah menyayangi seorang lelaki seperti dia menyayangi Tama.
Sayangnya, hubungan itu tidak berjalan
mulus, Tama yang merupakan keluarga tentara sejak turun temurun, tidak
menghendaki hubungannya dengan Aya. Selain karena Aya bukan keluarga
aparat, dia bukan orang jawa tulen. Ya, keluarga Tama terutama ibunya
masih memandang bahwa kesukuan itu penting, bibit, bebet, bobot
merupakan hal yang sangat krusial dan perlu diperhatikan dalam pemilihan
jodoh.
Aya menanggapi itu dengan lantang, “Aparat
Keparat” dengusnya kesal, ketika tahu ibunya Tama menghinanya dengan
sebutan tidak tulen, bukan perempuan jawa. Saat putus, Tama mengatakan
bahwa hubungan mereka harus berakhir karena ibunya sudah memberi
ultimatum untuk meninggalkan Aya. Dan Aya hanya bisa menerima. Belum
pernah dia merasa di buang dan di hina seperti itu sebelumnya. Sejak
saat itu dia betul-betul membenci tentara. Dia berjanji tidak akan
mendekati ataupun mau berhubungan dengan keparat berseragam itu.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam ketika Aya mendapat sms dari teman lamanya, Dimas.
“Hey, masih sedih gak?”
Kata isi sms itu, Aya tersenyum, hanya Dimas
yang masih peduli. Walau Aya tahu itu hanya modus Dimas untuk
menggantikan posisi Tama.
“Yah, gitu deh ..”
Jawab Aya. Balas-membalas sms itu berlanjut
hingga pukul 12.30 malam. Pada akhirnya, Dimas pamit untuk tidur
sementara Aya masih betah dengan lamunannya. Dia memandang kosong
langit-langit dan merenung tentang hubungannya yang kandas. Apakah suku
dan asal daerah bisa membuat orang membencinya, tapi Aya tidak mungkin
bisa merubah itu. Dia tidak bisa memilih suku apa atau dilahirkan dari
orang tua mana, semua takdir Tuhan. Dan ibunya Tama membencinya karena
takdir. Sungguh sangat tidak adil.
Sebenarnya Aya tahu bahwa semua itu tidak
berguna, tangisan dan ratapannya tidak akan membuat Tama kembali. Tapi
dia melewati semua ritual patah hati tersebut, dan akhirnya dia
terserang insomnia. Hingga nyaris pukul satu, dia masih tidak bisa
memejamkan mata.
Tama akan pergi ke akademi militer angkatan
laut pertengahan tahun ini. Tama akan menjalani karantina selama
Sembilan bulan dan Aya sudah berencana untuk menghabiskan hari liburan
selama dua bulan tanpa Tama di Bangka Belitung. Dia sudah merencanakan
itu semua bersama Tama, “Jadi aku bisa terus lihat laut, siapa tahu kamu
berlayar di Bangka..” kata Aya sambil tersenyum pada Tama. “Iya tapi
kamu sekalian temenin nyai kamu ya..” kata Tama sambil mencubit
hidungnya. Kalau Aya mengingat semua itu, hatinya sesak sekali, dia
tidak bisa tidak menangis kalau mengingatnya. Dan sekarang Aya
benar-benar berharap dia bisa segera pergi ke Bangka, dia berharap
dengan nyainya yang sangat perhatian dan bijaksana itu mampu mengobati
hatinya. Dia ingin membagi beban dengan nyai, dan tidak ada yang lebih
diinginkannya selain datang ke Bangka, mencari perubahan suasana dan
menghilangkan segala sakit hatinya.
Dia sudah berjanji dengan nyai, “Aya datang
nanti pas liburan semester, nyai masak yang enak ya..nyai seneng gak?”
kata Aya semangat. “Pasti dong, nyai kan kangen sama cucu nyai..”
katanya gembira. Aya begitu gembira mengingat itu semua.
Dia baru saja mau tertidur ketika melihat ponselnya dan mendapat satu missed call .
“Pak Ngah..” (sebutan paman dalam bahasa Bangka) bisiknya. Dia curiga,
sudah hampir pukul satu pagi saat pak ngah menelponya. Dia membangunkan
ibunya, “Ma, pak ngah barusan nelpon..kenapa ya?” katanya cemas. Ibunya
bangun dan tidak bisa terlihat tenang, “ah masa? Iseng kali.. dia
mungkin kangen “ kata ibunya menenangkan walau dia juga terlihat sama
cemasnya dengan Aya. Ia menekan tombol call back ke nomor pak ngahnya,
“Halo Pak ngah ada apa?” katanya tanpa salam.
“Aya lagi dimana?” Tanya suara dari seberang dengan lemah.
“Di rumah, kenapa sih pak ngah?” Tanya Aya makin tidak sabar.
“Kalau ada papa, bilang….nyai udah gak ada..”
suara itu berhenti dan tiba-tiba Aya serasa berada di dalam mimpi.
Pikirannya melayang, nyai, nyai gak ada lagi? Ibunya merebut ponsel dan
berbicara dengan pak ngahnya dengan histeris. Tapi Aya sudah tuli dengan
semua itu, baru saja dia mau menelpon nyai, baru saja dia
membicarakannya. Ini semua seperti mimpi, tiba-tiba saja nyai sudah
pergi dan tidak akan kembali.
Tak lama kemudian, ibunya pergi ke kantor
ayahnya yang berjarak 200 meter dari rumah. Memberitahu ayahnya tentang
kabar duka ini, Aya sudah menawarkan diri untuk memberitahu sang ayah,
namun ibunya berkeras dia sendiri yang harus pergi kesana. Sementara
itu, Aya menatap kosong langit-langit. Merenung kembali, namun kini
renungannya lain, mengapa Tuhan memberi cobaan bertubi-tubi. Dan ketika
dia memasuki kamar adik-adiknya, dia menangis keras saat menyadari tidak
ada satupun dari adiknya yang bisa mengenal nyainya lebih dalam.
***
Aya melangkah keluar dari taksi dan berjalan
masuk ke rumah nyai dengan perasaan sesak. Aya menunduk saat memasuki
rumah nyai, dadanya sesak. Mak ngah menyambutnya dengan pelukan,
berusaha menghibur dan membantu Aya menerima kenyataan. Dia melihat
jasad nyainya dalam ruang tamu, menatap nyainya dengan keadaan tidak
bernyawa tanpa pingsan adalah suatu perjuangan berat.
Mereka semua menunggu Aya untuk memandikan
nyai. Nenek Aya yang berada di Jakarta menelponnya berkali-kali untuk
memberi kekuatan pada cucunya, namun itu tidak berguna, semua ini
terlihat sangat mengerikan bagi Aya. Dia merasa tidak sanggup tapi harus
melakukannya. Tidak terbayang semua harapan dan rencana yang dia buat
dengan begitu matang harus berakhir dengan mengenaskan. Untuk kedua
kalinya dia kecewa dan saat ini dia nyaris kehilangan harap.
Waktu menunjukkan angka 11.15 sewaktu proses
pemandian dan pengkafanan sudah selesai. Aya merasa ‘habis’ saat
memohon diri ke keluarganya untuk membersihkan diri agar terlihat lebih
rapi saat ke pemakaman nanti.
Selepas dzuhur, pemakaman dilaksanakan, nyai
dimakamkan bersebelahan dengan atok. Dadanya sesak, dia begitu sedih
dan iri dengan cinta nyai dan atoknya. Dia sadar tidak akan bisa
mendapatkan hal itu dari Tama, laki-laki yang dia kira mencintainya. Dia
begitu sedih hingga sampai pemakaman itu berakhir dia masih tetap
menangis, keluarganya menunggu sampai Aya berhasil tenang. Dia hanya
menatap kedua makam itu secara bergantian, berfikir betapa beruntungnya
atok dan nyai hingga sampai mereka meninggal masih bisa memikirkan cara
untuk bersama.
Pak ngahnya merangkulnya, “cinta sejati itu,
akan bertahan sampai ke liang lahat..” hati Aya semakin mencelos
mendengar komentar pak ngahnya. Cinta, cinta macam apa, cinta yang
bagaimana, dimana mendapatkannya? Hatinya pedih mengingat itu semua.
Tuhan seandainya Tama ada disisinya, dia ingin memeluknya sekarang Aya
seperti kehilangan arah dan pegangan untuk bersandar.
Keesokan harinya, keluarganya mengajak Aya
ke pantai. Keluarganya melihat Aya begitu terpukul. Sebagai anak yang
seumur hidup tidak pernah melihat kematian secara langsung, Aya terlihat
sangat tertekan. Dia berjalan di bibir pantai dan memandang lautan yang
memanggil.
Debur ombak yang tenang berkejaran
menghempas kakinya. Lama ia berjalan di bibir pantai, hingga mobil dan
keluarganya terlihat sangat kecil. Dia merenung, nyai dan Tama tidak
akan kembali bersamanya. Meskipun dia menangis sekeras-kerasnya.
Hembusan angin yang hangat membelainya, nyai.. pikir Aya. Dia sedih
sekali sampai tidak bisa berkata-kata. “Nyai, Aya kangen kita belum
sempet ketemu, Aya belum cerita soal Tama ” katanya dalam hati. Dia
penasaran tentang komentar nyainya tentang Tama, nasihat apa yang akan
di beri, apa yang akan nyai lakukan untuk menghiburnya.
Sekarang hal yang begitu diharapannya harus
pupus. Dia kehilangan keduanya secara nyaris bersamaan. Tapi Aya tahu,
sebenarnya Tama bukanlah laki-laki yang baik dan, jika benar dia
laki-laki dan betul-betul mencintainya, dia tidak akan meninggalkannya
sendiri. Dia tidak akan menjadi pengecut yang mengiyakan seluruh
perkataan ibunya. Dia akan mempertahankan Aya sampai kapanpun itu, namun
yang terjadi sebaliknya. Kini semua memori tentang Tama harus dia
hapus. Cinta bukanlah soal memiliki dan mengasihi, tapi cinta adalah
bagaimana membahagiakan dan mempertahankan hingga akhir. Hal itu sudah
jelas tidak ada dalam diri Tama, dia sudah mati bagi Aya.
Tapi berbeda dengan nyai. Nyai tidak mati,
dia ada di dalam diri Aya, bersemayam dalam abadi dan menuntunnya.
Berbeda dengan Tama yang mencampakannya dan membuangnya, nyai tidak. Dia
merengkuh Aya dalam kasih sayang, bahkan setelah dia tiada. Cinta
keluarga membuatnya bertahan dalam hal seberat apapun, keluarga adalah
yang utama. Meskipun banyak laki-laki menyakitinya, dia akan tegar
karena ada keluarga yang akan selalu menjadi tameng terakhirnya.
Kini dia hanya harus merelakan semuanya,
karena jika tidak, nyai tidak akan tenang, dan Tama akan terus bersarang
dalam hatinya. Dia hanya harus menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa
memiliki semuanya. Aya sekarang harus berdiri tegak. “Beri Aya kekuatan
ya nyai, I love you, always” sambil menatap deburan ombak yang berkejaran, dia melangkahkan kaki kembali pada keluarganya.
Kematian nyai memberi banyak ilham dan
pelajaran. Kalau nyai tidak pergi, dia tidak akan tahu bagaimana
menghalau rasa kehilangan yang lebih parah dari putus cinta. Kalau nyai
tidak pergi, dia tidak akan bisa membedakan cinta semu dan cinta abadi,
kalau nyai tidak pergi, mungkin Aya bisa memeluknya sambil menangis
karena sakit hati. Ada yang hilang, tapi ada yang kembali. Walaupun
hatinya tidak kembali 100 persen, setidaknya dia mendapati pelajaran
yang berharga dari cobaan yang bertubi-tubi. Dia harus kuat, tidak
peduli berapa banyak cobaan yang menimpanya. Yang paling berharga dari
semua ini adalah kesendiriannya, dengan kesendirian dia bisa menatap
segala sesuatu dengan lebih jelas, jernih dan rasional.
Kadang, apa yang kita harapkan tidak pernah
menjadi kenyataan. Tapi apa yang kita butuhkan selalu diberikan oleh
Tuhan. Meskipun itu berarti kehilangan.
Penulis :
Lihat Sumbernya : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/05/10/selamat-tinggal-nyai/
0 komentar