Selamat Tinggal Nyai

Diposting oleh Unknown Rabu, 09 Mei 2012

Aya bolak balik melihat ponselnya, berharap ada pesan singkat yang masuk. Dia sedang menunggu Tama, mantan pacarnya yang memutuskan hubungan dengan Aya, sebulan sebelumnya. Hari sudah malam ketika Aya menemui ibunya di ruang tamu, “Ma, sepatunya udah jelek nih. Minta uang nyai ya?” (Nyai berarti Nenek dalam bahasa Bangka Belitung) ibunya membalas dengan tatapan menegur. “Jangan, kamu itu bisanya minta terus, malu tahu !” Aya membela diri, “..tapi nyai gak pernah marah kalau di minta, boleh ya telepon nyai?” katanya merengek-rengek. Ini kali keduanya Aya meminta uang pada nyainya di Sungailiat (Salah satu kabupaten di pulau Bangka).
Nyai Yang, nenek Aya selalu senang kalau di telepon. Siapapun yang meneleponnya pasti sambutannya hangat. Setahun berlalu semenjak Atok (panggilan kakek dalam bahasa Bangka) meninggal dunia. Nyai yang begitu kesepian hingga sering menelepon kemana saja. Hobinya yang suka merequest lagu di RRI Bangka makin menjadi-jadi setelah atok wafat. Aya yang masih remaja dan terlalu naïf untuk memahami kesepian nyainya, memanfaatkan kesempatan itu untuk meminta uang dan bermanja-manja dengan nyainya.
Ibunya mendengus kesal, “Ya terserahlah..” kata ibunya menyerah. Apapun yang terjadi, Aya selalu menang untuk mendapatkan apapun keinginannya. Aya hanya ingin belanja setelah Tama putus, dengan berbelanja dia bisa sedikit menghapus Tama dari hari-harinya. Aya terpukul atas kejadian itu, tidak dapat dipungkiri bahwa dia tidak bisa melupakan Tama. Naluri remajanya mengatakan dia belum pernah menyayangi seorang lelaki seperti dia menyayangi Tama.
Sayangnya, hubungan itu tidak berjalan mulus, Tama yang merupakan keluarga tentara sejak turun temurun, tidak menghendaki hubungannya dengan Aya. Selain karena Aya bukan keluarga aparat, dia bukan orang jawa tulen. Ya, keluarga Tama terutama ibunya masih memandang bahwa kesukuan itu penting, bibit, bebet, bobot merupakan hal yang sangat krusial dan perlu diperhatikan dalam pemilihan jodoh.
Aya menanggapi itu dengan lantang, “Aparat Keparat” dengusnya kesal, ketika tahu ibunya Tama menghinanya dengan sebutan tidak tulen, bukan perempuan jawa. Saat putus, Tama mengatakan bahwa hubungan mereka harus berakhir karena ibunya sudah memberi ultimatum untuk meninggalkan Aya. Dan Aya hanya bisa menerima. Belum pernah dia merasa di buang dan di hina seperti itu sebelumnya. Sejak saat itu dia betul-betul membenci tentara. Dia berjanji tidak akan mendekati ataupun mau berhubungan dengan keparat berseragam itu.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam ketika Aya mendapat sms dari teman lamanya, Dimas.
“Hey, masih sedih gak?”
Kata isi sms itu, Aya tersenyum, hanya Dimas yang masih peduli. Walau Aya tahu itu hanya modus Dimas untuk menggantikan posisi Tama.
“Yah, gitu deh ..”
Jawab Aya. Balas-membalas sms itu berlanjut hingga pukul 12.30 malam. Pada akhirnya, Dimas pamit untuk tidur sementara Aya masih betah dengan lamunannya. Dia memandang kosong langit-langit dan merenung tentang hubungannya yang kandas. Apakah suku dan asal daerah bisa membuat orang membencinya, tapi Aya tidak mungkin bisa merubah itu. Dia tidak bisa memilih suku apa atau dilahirkan dari orang tua mana, semua takdir Tuhan. Dan ibunya Tama membencinya karena takdir. Sungguh sangat tidak adil.
Sebenarnya Aya tahu bahwa semua itu tidak berguna, tangisan dan ratapannya tidak akan membuat Tama kembali. Tapi dia melewati semua ritual patah hati tersebut, dan akhirnya dia terserang insomnia. Hingga nyaris pukul satu, dia masih tidak bisa memejamkan mata.
Tama akan pergi ke akademi militer angkatan laut pertengahan tahun ini. Tama akan menjalani karantina selama Sembilan bulan dan Aya sudah berencana untuk menghabiskan hari liburan selama dua bulan tanpa Tama di Bangka Belitung. Dia sudah merencanakan itu semua bersama Tama, “Jadi aku bisa terus lihat laut, siapa tahu kamu berlayar di Bangka..” kata Aya sambil tersenyum pada Tama. “Iya tapi kamu sekalian temenin nyai kamu ya..” kata Tama sambil mencubit hidungnya. Kalau Aya mengingat semua itu, hatinya sesak sekali, dia tidak bisa tidak menangis kalau mengingatnya. Dan sekarang Aya benar-benar berharap dia bisa segera pergi ke Bangka, dia berharap dengan nyainya yang sangat perhatian dan bijaksana itu mampu mengobati hatinya. Dia ingin membagi beban dengan nyai, dan tidak ada yang lebih diinginkannya selain datang ke Bangka, mencari perubahan suasana dan menghilangkan segala sakit hatinya.
Dia sudah berjanji dengan nyai, “Aya datang nanti pas liburan semester, nyai masak yang enak ya..nyai seneng gak?” kata Aya semangat. “Pasti dong, nyai kan kangen sama cucu nyai..” katanya gembira. Aya begitu gembira mengingat itu semua.
Dia baru saja mau tertidur ketika melihat ponselnya dan mendapat satu missed call . “Pak Ngah..” (sebutan paman dalam bahasa Bangka) bisiknya. Dia curiga, sudah hampir pukul satu pagi saat pak ngah menelponya. Dia membangunkan ibunya, “Ma, pak ngah barusan nelpon..kenapa ya?” katanya cemas. Ibunya bangun dan tidak bisa terlihat tenang, “ah masa? Iseng kali.. dia mungkin kangen “ kata ibunya menenangkan walau dia juga terlihat sama cemasnya dengan Aya. Ia menekan tombol call back ke nomor pak ngahnya,
“Halo Pak ngah ada apa?” katanya tanpa salam.
“Aya lagi dimana?” Tanya suara dari seberang dengan lemah.
“Di rumah, kenapa sih pak ngah?” Tanya Aya makin tidak sabar.
“Kalau ada papa, bilang….nyai udah gak ada..” suara itu berhenti dan tiba-tiba Aya serasa berada di dalam mimpi. Pikirannya melayang, nyai, nyai gak ada lagi? Ibunya merebut ponsel dan berbicara dengan pak ngahnya dengan histeris. Tapi Aya sudah tuli dengan semua itu, baru saja dia mau menelpon nyai, baru saja dia membicarakannya. Ini semua seperti mimpi, tiba-tiba saja nyai sudah pergi dan tidak akan kembali.
Tak lama kemudian, ibunya pergi ke kantor ayahnya yang berjarak 200 meter dari rumah. Memberitahu ayahnya tentang kabar duka ini, Aya sudah menawarkan diri untuk memberitahu sang ayah, namun ibunya berkeras dia sendiri yang harus pergi kesana. Sementara itu, Aya menatap kosong langit-langit. Merenung kembali, namun kini renungannya lain, mengapa Tuhan memberi cobaan bertubi-tubi. Dan ketika dia memasuki kamar adik-adiknya, dia menangis keras saat menyadari tidak ada satupun dari adiknya yang bisa mengenal nyainya lebih dalam.
***
Aya melangkah keluar dari taksi dan berjalan masuk ke rumah nyai dengan perasaan sesak. Aya menunduk saat memasuki rumah nyai, dadanya sesak. Mak ngah menyambutnya dengan pelukan, berusaha menghibur dan membantu Aya menerima kenyataan. Dia melihat jasad nyainya dalam ruang tamu, menatap nyainya dengan keadaan tidak bernyawa tanpa pingsan adalah suatu perjuangan berat.
Mereka semua menunggu Aya untuk memandikan nyai. Nenek Aya yang berada di Jakarta menelponnya berkali-kali untuk memberi kekuatan pada cucunya, namun itu tidak berguna, semua ini terlihat sangat mengerikan bagi Aya. Dia merasa tidak sanggup tapi harus melakukannya. Tidak terbayang semua harapan dan rencana yang dia buat dengan begitu matang harus berakhir dengan mengenaskan. Untuk kedua kalinya dia kecewa dan saat ini dia nyaris kehilangan harap.
Waktu menunjukkan angka 11.15 sewaktu proses pemandian dan pengkafanan sudah selesai. Aya merasa ‘habis’ saat memohon diri ke keluarganya untuk membersihkan diri agar terlihat lebih rapi saat ke pemakaman nanti.
Selepas dzuhur, pemakaman dilaksanakan, nyai dimakamkan bersebelahan dengan atok. Dadanya sesak, dia begitu sedih dan iri dengan cinta nyai dan atoknya. Dia sadar tidak akan bisa mendapatkan hal itu dari Tama, laki-laki yang dia kira mencintainya. Dia begitu sedih hingga sampai pemakaman itu berakhir dia masih tetap menangis, keluarganya menunggu sampai Aya berhasil tenang. Dia hanya menatap kedua makam itu secara bergantian, berfikir betapa beruntungnya atok dan nyai hingga sampai mereka meninggal masih bisa memikirkan cara untuk bersama.
Pak ngahnya merangkulnya, “cinta sejati itu, akan bertahan sampai ke liang lahat..” hati Aya semakin mencelos mendengar komentar pak ngahnya. Cinta, cinta macam apa, cinta yang bagaimana, dimana mendapatkannya? Hatinya pedih mengingat itu semua. Tuhan seandainya Tama ada disisinya, dia ingin memeluknya sekarang Aya seperti kehilangan arah dan pegangan untuk bersandar.
Keesokan harinya, keluarganya mengajak Aya ke pantai. Keluarganya melihat Aya begitu terpukul. Sebagai anak yang seumur hidup tidak pernah melihat kematian secara langsung, Aya terlihat sangat tertekan. Dia berjalan di bibir pantai dan memandang lautan yang memanggil.
Debur ombak yang tenang berkejaran menghempas kakinya. Lama ia berjalan di bibir pantai, hingga mobil dan keluarganya terlihat sangat kecil. Dia merenung, nyai dan Tama tidak akan kembali bersamanya. Meskipun dia menangis sekeras-kerasnya. Hembusan angin yang hangat membelainya, nyai.. pikir Aya. Dia sedih sekali sampai tidak bisa berkata-kata. “Nyai, Aya kangen kita belum sempet ketemu, Aya belum cerita soal Tama ” katanya dalam hati. Dia penasaran tentang komentar nyainya tentang Tama, nasihat apa yang akan di beri, apa yang akan nyai lakukan untuk menghiburnya.
Sekarang hal yang begitu diharapannya harus pupus. Dia kehilangan keduanya secara nyaris bersamaan. Tapi Aya tahu, sebenarnya Tama bukanlah laki-laki yang baik dan, jika benar dia laki-laki dan betul-betul mencintainya, dia tidak akan meninggalkannya sendiri. Dia tidak akan menjadi pengecut yang mengiyakan seluruh perkataan ibunya. Dia akan mempertahankan Aya sampai kapanpun itu, namun yang terjadi sebaliknya. Kini semua memori tentang Tama harus dia hapus. Cinta bukanlah soal memiliki dan mengasihi, tapi cinta adalah bagaimana membahagiakan dan mempertahankan hingga akhir. Hal itu sudah jelas tidak ada dalam diri Tama, dia sudah mati bagi Aya.
Tapi berbeda dengan nyai. Nyai tidak mati, dia ada di dalam diri Aya, bersemayam dalam abadi dan menuntunnya. Berbeda dengan Tama yang mencampakannya dan membuangnya, nyai tidak. Dia merengkuh Aya dalam kasih sayang, bahkan setelah dia tiada. Cinta keluarga membuatnya bertahan dalam hal seberat apapun, keluarga adalah yang utama. Meskipun banyak laki-laki menyakitinya, dia akan tegar karena ada keluarga yang akan selalu menjadi tameng terakhirnya.
Kini dia hanya harus merelakan semuanya, karena jika tidak, nyai tidak akan tenang, dan Tama akan terus bersarang dalam hatinya. Dia hanya harus menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa memiliki semuanya. Aya sekarang harus berdiri tegak. “Beri Aya kekuatan ya nyai, I love you, always” sambil menatap deburan ombak yang berkejaran, dia melangkahkan kaki kembali pada keluarganya.
Kematian nyai memberi banyak ilham dan pelajaran. Kalau nyai tidak pergi, dia tidak akan tahu bagaimana menghalau rasa kehilangan yang lebih parah dari putus cinta. Kalau nyai tidak pergi, dia tidak akan bisa membedakan cinta semu dan cinta abadi, kalau nyai tidak pergi, mungkin Aya bisa memeluknya sambil menangis karena sakit hati. Ada yang hilang, tapi ada yang kembali. Walaupun hatinya tidak kembali 100 persen, setidaknya dia mendapati pelajaran yang berharga dari cobaan yang bertubi-tubi. Dia harus kuat, tidak peduli berapa banyak cobaan yang menimpanya. Yang paling berharga dari semua ini adalah kesendiriannya, dengan kesendirian dia bisa menatap segala sesuatu dengan lebih jelas, jernih dan rasional.
Kadang, apa yang kita harapkan tidak pernah menjadi kenyataan. Tapi apa yang kita butuhkan selalu diberikan oleh Tuhan. Meskipun itu berarti kehilangan.

Penulis :

Lihat Sumbernya : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/05/10/selamat-tinggal-nyai/

Share on :


Artikel Terkait:

0 komentar

Posting Komentar

Adsense Indonesia

Followers

Berita Populer Minggu Ini