NEGERI PADUAN SUARA
Cerpen Riki, S.S.
Untuk kesekian kalinya dia berada di kegelapan. Gelap yang tidak berujung dan bertepi. Dia tidak bisa meyakinkan padaku, apakah dia berada di sebuah ruangan atau bukan. Tidak ada batas sudut-sudutnya, tidak ada bentuk, dan pula tidak ada warna.
”Apakah ini puncak kesakitanku? Dingin dan lembab sekujur tubuh.”
”Apakah ini akhir dari segalanya? Gelap sepanjang pandangan.”
"Degup...degup...degup...degup!"
Terdengar seperti getaran kecil menyentuh-nyentuh di dalam syaraf telinga. Dia menyadari sel-sel kesadaran dalam tubuhnya satu demi satu meredup, kecuali sel-sel syaraf telinganya saja yang tersisa dan itu pun yang terakhir.
Terdengar suara-suara mengelilinginya.
"Gombal dengan semua kepura-puraannya. Dia merasa dirinya paling ideal dan suci," ungkapnya dalam nada Tenor.
"Ya, benar sekali," tegas suara bernada Bariton di sampingnya.
"Sudahlah kamu berdua jangan terlalu menyudutkannya, mungkin itu prinsipnya.”
”Prinsipnya berbeda dengan prinsip kita," tegur sura perempuan dengan suara lirih seperti Nada Meso Sopran.
"Prinsip itu seperti keyakinan. Dia akan memegang teguh dan tidak akan tergiur, sekalipun kita membujuknya dengan keuntungan materi yang besar.”
"Prinsip kita itu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Bukankah demikian kesepakatannya?" nada Tenor terkesan meyakinkan tujuannya.
"Ya, tepat sekali.”
“Benar-benar dia tidak punya prinsip,” ejek nada Tenor.
”Sudah, cukup! Dia itu berbeda,” tegas nada Meso Sopran dengan nada sedikit tinggi.
”Prinsip menurutnya berupa pengabdian yang utuh. Tidak untuk kepentingan kelompok, apalagi hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.”
”Sebenarnya saya kagum padanya!” jujur nada Meso Sopran.
”Nyonya kagum dengan orang seperti ini. Kalau kagum, kenapa Nyonya tidak berprinsip sepertii dia?” nada Tenor sedikit menyindir.
”Sudahlah jangan kau pertanyakan. Kebenaran menurut kita adalah sebuah kesepakatan. Kesepakatan adalah mufakat, dan mufakat itu merupakan suara kebenaran. Bukankah seperti itu?”
”Benar sekali! ....Satu milyar.... buat Nyonya,” respon nada bariton.
”Kita harus menguatkan prinsip kita dengan nada yang sama!” jawab mereka serempak.
Terdengar gelak-tawa kegembiraan diantara mereka seperti nada-nada marsh. Suara satu, dua dan tiga berirama serentak membentuk kekuatan suara yang saling mengukuhkan, sehingga membentuk nada yang bulat dan utuh. Tetapi, menurut pendengarannya justru suara-suara di luar tubuhnya itu bernada sumbang dan menjijikan.
Sementara udara di ruangan yang berbentuk bujur sangkar itu terasa mencekam, dingin AC menusuk pori-pori tubuh. Infus yang tergantung di besi penyangga, tanpa lelah menetskan air makanan untuk menyambung kehidupan baginya. Tabung oxygen berdiri tegak dengan sabar memompakan udara melalui lubang hidung, segarnya memberikan riak kesadaran. Namun, itu semua hanya terhitung dengan jatah nafas yang terbatas. Sedikit harapan masih ada dititipkan di setiap detak jantungnya.
"Degup...degup...degup...degup."
"Degup...degup...degup...degup."
”Saya khawatir, dia akan membongkar rahasia kita semua,” nada Bariton mencemaskan.
”Nada yang tidak seirama akan mengeluarkan suara sumbang dan akan mengganggu keharmonisan. Dan, itu artinya mengganggu kemanan kita!”
”Ya Tuhan! Jauhkanlah bencana ini,”
”Tetapi jika benar-benar terjadi, sudah dipastikan kita tidak bisa menikmati manisnya uang dan mewahnya mobil, yang ada hanya malu dan kehinaan dalam tralis besi,” keluh nada tenor ketakutan.
”Bagaimana jadinya Nyonya?” pinta nada Bariton.
”Jangan khawatir, semuanya sudah diatur dengan rapi.”
”Tidak ada orang yang tahu jejak-jejak kita, kecuali kita dan dia.
”Kalian lihat sendiri, bukankah dia sudah tidak berdaya? Jadi kita aman.” jelas nada Meso Sopran.
Suara itu mengikis sedikit demi sedikit harapan kehidupan, menghantarkannya pada gelap. Tetapi, cahaya tetap memaksa merambat diantara celah-celah kecil, sekalipun pudar tetap membawa sedikit harapan kehidupan. Kepekaan pendengaranya kembali menyelinap di balik rongga-rongga telinga.
"Degup...degup...degup...degup," sayup detak jantung.
”Kemarin saya menanyakan kondisinya ke ketua tim dokter yang menanganinya. Ternyata hasil diagnosanya mengatakan bahwa pingsan yang sering dialaminya akan mengakibatkan amnesia akut atau bahkan kematian.”
”Informasi ini memberikan arti penting untuk keamanan kita semua,” tandas nada Meso Sopran.
”Artinya kalau pun dia tidak mati, kita tetap akan aman karena dia tidak dapat mengingat apa-apa tentang kita. Entah syaraf apa yang rusak di kepalanya,” jelas nada Meso Sopran meyakinkan.
”Keberuntungan memihak kita.”
”Dua pilihan yang jitu; mati atau lupa selama-lamanya.”
”Kita akan selamat dan kita akan kaya!” suara Tenor dan Bariton serempak.
Riuh kemenangan dari suara-suara sumbang itu seperti nada-nada marsh yang lebih serentak. Nadanya berirama keuntungan ratusan juta rupiah; makanan lezat di hotel super mewah dengan gula-gula perempuan cantik. Demikian juga mobil Mercy dan BMW seri terbaru menjadi nada kegembiraannya pula.
”Setahun yang lalu sebelum dia terkena penyakit dan sering pingsan, saya sudah membujuknya untuk bergabung kembali dalam kesepakatan kita. Tetapi, dia menolak mentah-mentah.”
”Dia marah besar, katanya lebih baik mati dari pada harus bergabung lagi dalam kesepakatan. Sumpah-serapah yang dialamatkan olehnya adalah penghianat.
"Siapa penghianat itu?" intrupsi nada Tenor.
"Bukannya dia sendiri yang menjadi penghianat. Menghianati kesepakatan yang telah dibuat. Bisa-bisanya dia memutar-balikan fakta," dalih nada Bariton.
"Lantas apa lagi yang disampaikan si penghianat tengik ini?”
Suara nada Bariton terdengar keras sekali menempel di telinganya, dia memukul-mukul tempat tidur di samping tubuh yang terbujur kaku. Gereget gigi-giginya yang beradu sehingga terdengar ngilu sekali.
“Lepaskan saja selang-selang oxygen itu dari lubang hidungnya, supaya kita cepat aman!”
“Tarik segala ucapanmu itu, tolol! Kau terlalu gegabah dengan ucamanmu. Itu namanya pembunuhan!”
“Kita perlu sedikit bersabar, menunggu sang waktu menjemputnya.”
“Sudahlah, kau bersabarlah sedikit. Lantas apalagi yang dikatakannya?” timpal nada Bariton
”Dia berdiri dari kursi kantornya, dan memaki-maki saya,” tambah nada Meso Sopran.
”Katanya, badai tidak akan pernah berakhir di negeri ini. Bukankah kita dipilih untuk mewakili suara-suara yang menitipkan segala perbaikan. Kita mengibarkan warna-warni bendera dengan panji perubahan. Kenapa kita menghianatinya? Kemudian dia mengusir saya.”
”Demikianlah perbincangan terakhir dengannya. Tepatnya hari senin jam 10.30 di ruang rapat komisi,” jelas nada Meso Sopran kembali.
"Degup...degup...degup...degup," sedikit terdengar detaknya.
Sel-sel syaraf telinga mulai meredup-menyala dan meredup-menyala lagi. Sisa-sisa kesadarannya berusaha mengingat suara-suara di luar tubuhnya. Menerka untuk mengingat siapa pemilik suara-suara sumbang itu.
Siapakah mereka sebenarnya? Kalau dia berhasil mengingat siapa mereka, tentunya kalian juga akan tahu dan kalian bisa melaporkan mereka sebagai pelaku kejahatan.
Dia mengutarakan padaku tentang suara-suara janggal yang pernah dia simak tiga bulan yang lalu. Pada waktu itu dia lebih kelihatan sehat, mulutnya masih bisa menyampaikan informasi dengan baik. Dia mengatakan padaku persis seperti apa yang dia dengar. Dia hanya bisa mengingat suara-suara itu dengan baik, persis seperti dia hanya mengingat baik diriku sebagai teman dekatnya.
”Sudahlah kalau dia menginginkan keluar dari kesepakatan ini, keluar saja. Apa pentingnya keberadaanya dalam kesepakatan ini. Toh, cuma dia satu orang saja.”
”Kesepakatan yang kita buat, dianggap absah karena jumlah suara kita sudah quorum. Maka izin penggusuran tanah dibawah jembatan antar kota itu disepakati dengan segala konsekwensi konvensasinya.”
”Bukankah seprti itu?”
”Benar sekali,Nyonya.” jawabannya serntak
”Kita sudah menanadatanganinya di atas materai,”
”Sah dan absah.”
”Apa yang harus kita khawatirkan?”
”Kita sudah sangat aman, karena sudah tidak ada lagi penolakan diantara kita. Kita sudah nyaman, karena sudah tidak adalagi dua mata dan dua telinga yang mengawasi kita.
”Marilah kita bersulang.”
Inilah sabda kebenaran yang dititipkan pada cahaya, menembus gelap setebal malam tanpa rembulan. Kejahatan dan kedoliman dipahatkan dan terlihat di atas tanah kumuh milik orang-orang misikin yang digusur. Dengan izin kekuasaan dibangunlah mahligai kemewahan yang menjanjikan. Kesepakatan yang menjijikan; izin penggusuran tanah kumuh milik orang-orang miskin di bawah jembatan layang antar kota.
Menurutnya apakah kalian akan memaksa mencari sumber suara-suara sumbang itu? Tetapi dia mengkhawatirkan kalian tidak bisa menemukannya. Sekalipun menemukan suara-suara itu, bukannya bisa menangkap mereka justru kalian sendiri yang dituntut balik dengan alasan memfitnah dan mencemarkan nama baik. Itu semua karena bukti yang ada hanya berupa nada-nada suara saja.
Dia mengira, di ruang itu orang-orangnya sudah terkelompokan dalam grup paduan suara yang sama. Paduan suara yang cenderung menyanyikan nada-nada sumbang yang memiliki satu intruksi dari sang dirigen. Sang Dirigen pandai sekali dalam menyampaikan isyarat-isyarat tangan dan mengintruksikan perintah-perintah tanpa suara. Sehingga sampai hari ini belum satu pun suara-suara sumbang itu terungkap dengan jelas dan tuntas.
Inilah keterbatasan. Dia hanya bisa meminta maaf pada kalian, karena suara-suara tersebut hanya dialamatkan dalam nada-nada Tenor, Bariton dan Meso Sopran seperti yang telah kalian dengar.
Suara yang terdengar bukanlah paduan suara marsh kemerdekaan mengusir segala bentuk penjajah seperti dalam cerita-cerita kepahlawanan. Paduan suara itu berupa paduan suara Diatonis Mayor, tangga nadanya mempunyai jarak antara 1 dan 1/2. Ciri-ciri nadanya bergairah, gembira dan semangat. Namun sayang, ciri-ciri nada tersebut hanya untuk mendapatkan keuntungan 1 atau 1/2 milyar rupiah saja.
Dingin AC di ruangan itu kian tidak bersahabat, menyelinap di setiap lubang pori-pori, sehinga dinginnya menyatu dengan sekujur tubuh. Dingin yang memisahkan dari segala hangat kehidupan dunia. Sudah tidak terlihat lagi air jatuh dari selang infus sebagai riak kehidupannya. Tabung oxigen sudah menyerah memompakan harapan. Dan, akhirnya dingin menyeretnya jauh kekedalaman sunyi, tanpa sedikitpun cahaya.
”Bagaimana perkembangannya, Dok?” tanyanya dengan nada harap-harap cemas.
”Tidak bisa diselamatkan!” .
”Dia sudah tiada!”
”Benar sekali kita sudah aman.”
”Syukurlah,” ketiga suara itu serempak dengan nada bulat.
Segala gelap mengisyaratkan seluruh kesadarannya; memisahkan dari segala terang yang penuh dengan interik-interik pelik dan manipulasi. Dia lebih memilih kehidupan yang hening dan sepi untuk menghadap sang Illahi dengan bekal kejujuran yang dimilikinya. Kejujuran itu terbungkus dengan lipatan kain putih sebagai bukti kesucian dari noda-noda dunia. Perang telah usai meski harus diakhiri dengan sebuah kekalahan; adalah melawan musuh ketidak-adilan yang diakhiri dengan kemenangan mengalahkannya dari sudut mata duniawi.
Angin menghembuskan tubuhnya dengan iring semerbak wangi melati mengantarkannya. Dia disambut dengan segala kesederhanaan rumah, tanpa disain, tanpa mode, tanpa pagar dan tanpa garasi mobil. Terbujur tubuhnya dikelilingi tangisan memanjatkan doa atas kesederhanaan dan kejujuran yang dipujanya. Sekedar itu, dia dipendamkan tanpa upacara kehormatan seorang pahlawan. Sekedar itu, dia ditinggalkan, dengan hanya alamat lahir dan kepergian tertulis di atas sebuah nisan.
PROFIL PENULIS
Nama : Riki SS
Email : riki.gevin@gmail.com
DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2012/05/cerpen-kritik-sosial-negeri-paduan.html#ixzz1xFbOaA2L
Itulah Cerpen Kritik Sosial 'Negeri Paduan Suara' karya Riki, S.S
Pengen tulisan kamu terbit di Kumpul Remaja? Silakan kirimkan tulisan kamu di Facebook Fanpage Kumpul Remaja atau di komentar di bawah postingan ini. Sertakan identitasmu baik itu facebook, twitter atau blog kamu.!
Makasi Atas karianya >>> sumpah bagus bagus ... ??
TERUS BERKARIA
makasih infor masinya nya dan karianya sip banget deh... ?