Penjelasan Dokter Agung seperti membalikkan dunia gadis itu. Perasaan Miranda hancur. Bayangan akan jarum suntik, bubuk putaw, butiran obat penenang, dan free sex berputar di kepalanya. Tak ada lagi kalimat yang ingin ia ucapkan selain meninggalkan ruangan dokter Agung dan pulang ke rumah dan menangis sejadi – jadinya.
Miranda berjalan lunglai, seperti tak bernyawa. Ia hanya membayangkan sebuah kematian yang menyakitkan, tanpa mama dan papa yang sudah lama tak ingin lagi mengurusnya karena kebiasaan – kebiasaan buruk Miranda mengkonsumsi drugs.
“Brukk” Miranda membanting tubuhnya di atas ranjang dengan sprei abu – abu lusuh. Entah berapa lama sprei itu tak digantinya. Ia jauh lebih sibuk menghubungi bandar – bandar narkoba setiap hari, daripada mengurus rumah kontrakannya. Miranda menangis sejadi – jadinya. Ia tak menyangka bahwa virus itu kini bersemayam di tubuhnya. Virus mematikan itu. Virus yang amat ditakuti oleh para user.
Miranda merogoh ponsel di dalam kantong celana jeans belelnya.
“Yank, dimana? Aku butuh kamu sekarang.” Miranda menghubungi Alfa kekasihnya yang juga pemakai drugs.
Tak harus menunggu lama, Alfa datang dengan mata merah khas user setelah memakai narkoba. Entah jenis narkoba yang mana yang ia pakai pagi ini.
“Kamu kenapa yank?” tanya Alfa sambil menggaruk – garuk hidungnya.
Miranda bangkit dari tempat tidurnya, dan langsung memeluk Alfa kencang.
“Mir, kamu kenapa sayang? Kok nangis?” Alfa mengulangi pertanyaannya.
“Aku, aku Aids yank.”
“Apa???!”
Miranda melepaskan pelukannya, menatap mata Alfa, lalu mengelus pipi pria itu.
“Kita harus berhenti yank. Kita nggak bisa terus begini.” Ucap Miranda.
Alfa terdiam, seharusnya Miranda tak mengajaknya bicara tentang itu, karena Alfa dalam kondisi yang tidak normal. Ia habis mengkonsumsi putaw, kebiasaannya setiap habis bangun tidur.
Alfa mendadak meninggalkan Miranda. Miranda tak heran, Alfa selalu emosional. Mereka kerap ribut, namun hanya bertahan beberapa jam saja walaupun terkadang Alfa memukulnya atau sebaliknya. Hubungan yang penuh kekerasan.
*-*
“Anjiiiiing, sakiiitttttt,,,!!!!” Miranda berteriak – teriak kesakitan di atas ranjangnya. Miranda tengah mencoba memberhentikan diri dari drugs yang selama ini menjadi Tuhan baginya.
“Putaw sialaaaannn,,, udahhhhh bdan gue sakittt setaaann!!” Miranda terus meracau. Menangis hingga muntah – muntah. Miranda memukul – mukul tembok hingga tangannya terluka.
Alfa sudah seminggu ini tak datang. Entah kemana dia. Miranda tak mau tahu. ia hanya ingin lepas dari rasa sakit itu dan kembali ke jalan yang benar sampai ajal menjemputnya.
“Mamaaaaa,, tolong Miraaa ma, papaaaa..” Miranda memanggil – manggil kedua orang tuanya yang mungkin sudah tak lagi peduli padanya.
Miranda yang malang, kini berkubang dengan rasa sakit, sendirian, tanpa kawan.
*-*
Pagi ini Miranda harus check up ke dokter Agung. Ia sudah duduk di ruang tunggu. Gadis ini menggunakan jacket tebal dan jeans belel yang mungkin sudah sebulan tak dicuci.
“Nona Miranda?” panggil seorang suster.
“Ya,,”
“Silahkan masuk.”
Miranda masuk ke ruangan dokter Agung. Ia kembali teringat saat dokter itu memberitahunya soal penyakit mematikan itu.
“Pagi dok.” Sapa Miranda.”
“Selamat pagi Mira, kau nampak lusuh sekali?”
“Sudah seminggu saya berhenti dok, saya mau sembuh.”
“Ada baiknya kamu masuk panti rehabilitasi saja Mira, itu akan jauh lebih baik.”
“Iya dok, saya mau.” Sambut Miranda tanpa keraguan.
Jadilah Mira tinggal di Panti Rehabilitasi sejak saat itu. Ia mulai banyak berkenalan dengan para penghuni sebelumnya. Memang rasanya berbeda saat berada di rumah dengan berada di sPanti Rehabilitasi, walaupun sama – sama harus merasakan sakit jika saat “nagih” itu tiba.
Tapi disini Mira juga didekatkan pada Tuhan, ada doa bersama, acara kumpul bersama para pasien, sharing kisah mereka sewaktu masih menjadi pemakai. Namun tak semua pasien disini menderita HIV Aids. Kamar para penderita HIV Aids dibedakan dengan mereka yang tidak terkena virus tersebut. Tapi buat Miranda itu bukan masalah besar, karena ia hanya ingin sembuh.
Sampai akhirnya Mira berkenalan dengan seorang pria bernama Hen. Hen masuk kesini awalnya dipaksa oleh keluarganya, namun lama kelamaan ia betah. Hen cukup tampan, dan ia pandai sekali mengaji. Ia bilang sudah setahun disini dan ia belajar mengaji dari tempat ini. Mira kagum pada Hen. Hen sangat perhatian padanya. Hen pun merasakan Mira berbeda dengan gadis lain yang asuk kesini. Keinginannya untuk sembuh sangat besar. Mira menceritakan masa lalunya yang kelam pada Hen. Hen pendengar yang baik. Hen selalu memberikan dukungan pada Miranda.
*-*
Sore itu taman panti diisi gerimis, Hen dan Miranda duduk di pinggiran gedung sambil memandang gerimis bersama.
“Nggak terasa udah setengah tahun aku disini.” Ucap Miranda.
“Aku udah 1 tahun. Tapi kok nggak bosen ya? apa karena ada kamu?” ledek Hen.
“Ah kamu bisa aja.” Mira merajut senyum manisnya.
“Hen, kapan kamu keluar dari sini?”
“Kalau tak ada halangan dua bulan lagi.”
Mendadak dada Miranda terasa sesak. Ingin menangis. Ia merasa akan kehilangan seseorang yang ia sayang.
“Nggak usah nangis ah, aku pasti rajin jenguk kamu kok. Makanya semangat yuk supaya keluar sama – sama terus nikah deh.” Mendadak sebuah kaliamt begitu saja mengalir dari bibir Hen.
Mira menatap Hen, ada sebulir airmata jatuh.
“Kamu? kamu..”
“Iya aku serius… “ jawab Hen.
Hen seakan paham isi hati Miranda. Bibir Miranda kembali terkatup. Semakin haru suasana sore itu. Hen menggenggam tangan Miranda, menatapnya dalam – dalam. Pandangannya seakan mengatakan bahwa ia sungguh – sungguh menyayangi Miranda.
*-*
Tibalah saatnya Hen keluar dari Panti, banyak airmata pagi itu. Hen memang sangat akrab dengan rekan – rekannya di panti. Antara ikut bahagia dan tidak rela akan kepergian Hen. Semua berdiri di depan gerbang. Ingin melepas kepergian Hen. Namun Mira tak ada dalam kumpulan orang – orang itu. ia hanya mampu memandangi Hen dari jendela kamar. Air matanya meluap. Ia berharap surat yang ditulisnya semalam akan dibaca oleh Hen dan Hen akan memenuhi permintaannya. Ia pun berdoa dalam hati untuk itu.
*-*
Tiga minggu berlalu, Miranda di diagnose terkena kanker hati. Lagi – lagi Miranda merasa hancur. ia tak berani mengatakan pada Hen tentang kondisinya. Miranda tak mau Hen menjadi sedih. Walaupun selama ini Hen lah yang selalu memberikannya doa dan dukungan.
Sampai suatu hari saat Hen datang menjenguk,
“Mir, kamu kok tambah kurus? Dokter bilang apa? Kondisimu baik – baik aja kan sayang?”
“Aku, aku baik – baik aja. Kan aku mau pulang Hen.”
“Tapi badan kamu makin kurus saja, aku takut kamu kenapa – napa.”
“Tenanglah sayang, aku baik – baik saja.”
“Ada kabar baik untukmu Mir, aku sudah bertemu kedua orang tuamu dan mereka akan menjengukmu dalam waktu dekat.”
Miranda menatap mata Hen yang teduh, ia begitu berterimakasih pada Tuhan karena sudah mempertemukan Hen dengannya.
“Hen, terimakasih banyak, kamu benar – benar sebuah anugerah.”
Hen memeluk Miranda erat. Rasanya tak ingin berpisah dengan gadis itu walau sedetik saja. Walaupun dia mantan pecandu, walaupun ia penderita Aids.
*-*
Kondisi Miranda melemah, dokter specialist yang ditugaskan di panti mengirim Miranda ke Rumah Sakit Internasional terdekat, karena peralatan yang lebih lengkap. Hen dan kedua orang tua Mira sudah sampai di RS. Mereka sangat khawatir dan tak menyangka Mira merahasiakan ini semua.
Di ruang operasi…
“Bagaimana dok? Pasien tidak merespon.” Ucap seorang suster dengan wajah yang sudah ditutupi masker.
“Gunakan alat pacu jantung.”
“Baik dok.”
“Dugdug..dugdug..” suara alat pacu jantung yang ditempelkan ke dada Mira.
“Masih tidak ada respon dok.”
“tiiiiiiiiiiiiiiiitttttt……..”
“Innalilahi.. Lepaskan semua alat, kabari keluarganya sus.”
“Baik dok.”
Hen dan kedua orang tua Mira terduduk lemas. Hen masuk ke ruang operasi, ia membuka kain hijau yang menutupi wajah orang terkasihnya.
Hen tak menangis, ia menahan tangisnya. Ia tahu Mira tak benar – benar ingin meninggalkannya. Namun Tuhan begitu menyayangi dan merindukan Mira, hingga Mira dijemput lebih dulu.
Ben membuka isi surat yang waktu itu diberikan Mira saat ia akan meninggalkan panti. Harusnya ia sadar, itu adalah sebuah isyarat.
“Dear Hen,,
Jika aku keluar dalam keadaan sehat,, nikahi aku, ucapkan lafal ijab qabul untukku..
Namun jika aku keluar dalam keadaan mati, adzani aku dalam liang kuburku nanti..
Berjanjilah sayang,,
Penulis :
Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/11/22/ada-hati-di-panti-rehabilitasi-510960.html
Semoga kalian Menikmati Cerpen "Ada Hati di Panti Rehabilitasi"
Pengen tulisan kamu terbit di Kumpul Remaja? Silakan kirimkan tulisan kamu di Facebook Fanpage Kumpul Remaja atau di komentar di bawah postingan ini. Sertakan identitasmu baik itu facebook, twitter atau blog kamu.!
Makasi Atas karianya >>> sumpah bagus bagus ... ??
TERUS BERKARIA
Makasi Atas karianya >>> sumpah bagus bagus ... ??
TERUS BERKARIA
makasih infor masinya nya dan karianya sip banget deh... ?
makasih infor masinya nya dan karianya sip banget deh... ?