Mula-mula hanya apa yang perempuan-perempuan itu kerjakan yang menarik perhatiannya. Tapi apa yang dibicarakan dua perempuan itu perlahan melarikan konsentrasi otaknya…dari mata ke telinga.
————
Sungguh…
Ia tak tahu kenapa akhir-akhir ini
otaknya terasa mengering. Tak ada ide mengalir yang menggelontor melalui
otot bebayu, untuk membuat tangan menari-nari di atas lembar-lembar
notes. Menari menuliskannya.
Apalagi di beberapa hari terakhir.
Seringkali waktu terbaik adalah malam, saat tungku di otaknya mulai
menyala, menggodok sesuatu untuk menyuling tetes-tetes ide dari uapnya.
Tapi tidak! tungku itu menyala saja, dan meski tetap menggodok sesuatu,
tapi tak ada yang tersuling, dan…begitulah, menguap saja!
Tadi tiba-tiba terpikir dalam benak
lelaki muda untuk pergi memancing. Sesuatu yang disukainya, tapi….lama
sekali itu belum dilakukannya lagi. Ia tak ingat, kapan persisnya
terakhir kali ia memancing.
Ah, semoga saja ini membawa pada
kesegaran pikiran. Otak ini terlalu lelah karena terus diperah,
keterlaluan sekali kalau tak sekali waktu diberikan padanya, makanan
penuh gizi. Mungkin menikmati air yang terus mengalir menggempur
bebatuan di sungai akan ikut menghanyutkan kepenatan ini.
Sayang sekali ia melupakan satu hal. Ini
musim kemarau ! lucu tentu saja berharap melihat air yang
berduyun-duyun kecokelatan mengalir dari tempat tinggi di gunung.
Apalagi berharap mendapatkan serenteng ikan untuk di bawa pulang. Lelaki
muda menyadarinya tepat ketika tiba di tepi sungai.
Tak ada air untuk menghanyutkan
kepenatan pikirannya yang menyesak seperti onggokan sampah, yang
menyumpal di otaknya, dan membuatnya tersumbat.
Sungai ini saja telanjang, terlihat
dasarnya. Batu-batu teronggok dengan lumut yang mengering di
permukaannya. Bahkan air gemericik itu tak mampu melarikan sampah
dedaunan yang menumpuk di dasar sungai, hanya bisa berlalu mengucap
‘permisi’ di bawah, atau di sela-selanya, bukan menghantam dan
melebur-leburkannya seperti saat penghujan.
‘Kenapa memancing? dan kenapa musim
kemarau ini baru ku ketahui ketika sampai di pinggir sungai? kemana saja
aku?’ gumam lelaki muda. Ia tidak kesal, melainkan geli saja.
‘Kenapa tak pergi saja ke alun-alun
kota, melihat orang-orang menaikkan layang-layang besar beragam model.
Tentunya menyenangkan sekali, lagipula aku lebih perlu membuang
kepenatan pikiran ini, mencari penyegaran, dari pada mencari ikan.’ ia
masih saja bergumam pada dirinya.
Atau …ha! mestinya tadi membawa saja senapan. Maksudnya, tentu saja meminjam!
Tupai itu riuh berlarian pada rimbun
bambu yang melintang di atas sungai. Berburu tupai atau burung-burung
tentu lebih menyenangkan. Daging tupai gurih, segurih kelapa, makanan
kesukaan tupai.
Lelaki muda urung turun ke sungai. Ia
melangkah menjauhi sungai menyusuri jalan setapak persawahan.
Sawah-sawah itu menyuguhinya pemandangan berupa apa yang ditumbuhkannya.
Mbako*, Lung*, Lombok*, Kapri*, Lobis*…hmmm, senang melihatnya.
Sembari menikmati tanaman-tanaman yang
segar memikat itu, lelaki muda berpikir untuk menuju mata air. Lama
sekali ia tak kesana. Membasuh muka dengan beningnya air yang dingin dan
segar. Seperti apa tempat itu sekarang. Ia tak tahu apakah airnya masih
bergolak-golak dari dalam tanah dan melimpah ruah.
Ia selalu mendengar, mata air akan
semakin berkurang airnya seiring menuanya bumi. Buru-buru lelaki muda
menepis pikiran itu, karena membuat hatinya berdesir dan memikirkan
bumi.
————-
Mata air itu masih melimpah airnya, dan
tetap segar. Lelaki muda memenuhi hasratnya untuk membasuh muka dan
membasahi kepalanya dengan air bening.
Dua orang perempuan tengah memanen Kenci*
di area sawah, dimana mata air ini berada, di pojokannya dibawah
tebing. Sesaat lelaki muda mengamati mereka. Mula-mula tangan-tangan
cekatan mereka memisahkan tanaman air itu dari akarnya yang berserabut
dan berwarna pucat, karena mengambang di air dangkal sepanjang waktu.
Daun-daun Kenci itu dimasukkan dalam keranjang jinjing dari bambu.
Sementara akarnya tak dibuang, melainkan
di tekan lagi dengan kaki-kaki mereka agar sedikit terbenam di tanah
basah yang lembut. Beberapa minggu setelahnya, akar itu akan ditumbuhi
tunas baru, yang bisa mereka panen lagi nanti.
Hmmm…jadi membayangkan Kenci rebus dengan Sambel Pecel*
dan nasi hangat. Sayuran itu memang lebih banyak tangkai dari pada
daun-daunnya yang keriting dan bulat-bulat kecil, berserat, dan agak
alot. Tapi nikmatnya luar biasa dan murah. Ia tak tahu, berapa uang yang
akan perempuan-perempuan itu bawa pulang besok, sekembalinya dari pasar
menjual berikat-ikat Kenci.
Perempuan-perempuan sederhana yang selalu bekerja keras. Mereka mengagumkan…
Lelaki muda duduk kini diatas bak yang
berukuran sangat besar, untuk menampung air. Bak yang juga berfungsi
sebagai pembagi air minum, yang mengalir ke banyak desa. Matanya terus
memperhatikan apa yang di kerjakan perempuan-perempuan itu, sambil
menikmati hisapan dari rokok putih kecilnya.
Mula-mula hanya apa yang
perempuan-perempuan itu kerjakan yang menarik perhatiannya. Tapi apa
yang dibicarakan dua perempuan itu perlahan melarikan konsentrasi
otaknya…dari mata ke telinga.
Perempuan yang satu memakai kaos oblong
dan masih berlapis kebaya usang yang sobek disana-sini, di padu celana
training kumal dengan membiarkan bagian bawahnya tercelup air dan kotor
oleh lumpur. Paduan sempurna untuk sebuah kekacauan harmoni tatanan.
Pakaian perempuan yang satu lebih kumal
lagi. Kaos oblong yang rasanya dulu berwarna putih ketika masih baru,
sekarang tampak coklat dengan bagian lingkar leher yang telah melebar.
Di bagian bawahnya, rok berwarna hitam yang tak sesuai dengan badannya
yang kurus kecil membalutnya. Sekali lagi….dandanan yang tak sedap di
lihat.
“Rasanya seperti mau mencekiknya saja kalau melihatnya nglongok*
di jendela itu, Mar!” kata perempuan berkaos oblong cokelat dengan
bawahan rok. Perempuan dengan celana training yang di panggil Mar
tertawa kecil. Tangannya terus dengan apa yang dikerjakannya.
“Kemarin itu, aku sudah tenang…lebih
cepat meninggal lebih baik, ternyata malah sembuh!” imbuh perempuan
kurus itu. Lelaki muda mengerutkan keningnya, perempuan itu membuatnya
menanti lanjutan pembicaraan itu segera.
“Waktu ngambruk* itu?” tanya perempuan yang di panggil Mar.
“Ya…aku sengaja tidak membawanya ke Puskesmas, bahkan bapakne* tidak berani bicara apa-apa! orang tua itu nyusahi*!” kata perempuan kurus itu, nadanya terdengar sengit, penuh kebencian.
“Tapi dia malah sehat lagi, padahal aku
kurangi jatah makannya, maksudku biar lemes, biar cepat mati!” perempuan
kurus terus berkata-kata. Lelaki muda merasa berdebar-debar. Perempuan
kurus itu, bukan saja tampilannya yang mengerikan, tapi…
“Mbok sabar to Yu*…menghadapi orang tua, apalagi sudah pikun seperti Wa* Sarno memang harus sabar!” kata perempuan yang dipanggil Mar.
“Ngendikane* Pak Kyai, orang tua seperti Wa Sarno memang seperti ujian Yu, tapi Gusti Allah telah menyiapkan pahalanya kalau sampeyan* menghadapinya dengan sabar dan ikhlas!”
“Pahala apa? kamu tahu Mar, hampir
sepuluh tahun orang tua itu tak bisa apa-apa lagi! Hanya tidur, duduk,
ngompol, buang air! makannya rakus sekali!” keluh perempuan kurus
lagi,”Sehari tak cukup beras dua kilo! anak-e pirang-pirang semega kabeh*, orang tua nambah-nambahi beban!”
“Bersabarlah Yu, bagaimanapun itu orang tua sampeyan!”
“Aku hanya anak mantu kok!” tukas perempuan kurus dengan sengit.
Lelaki muda mulai mengerti pembicaraan
itu. Tapi ia tak ingin mereka tahu, pembicaraan mereka di dengarnya
dengan penuh perhatian.
“Kamu tahu Mar, kenapa orang tua itu ngambruk kemarin?”
“Kenapa Yu?”
“Makanannya aku campur dengan remukan obat nyamuk!”
“Astaga Yu? Sampeyan kok tegel to? nyebut Yu, nyebut*!”
Lelaki muda tak kalah terkejutnya dengan
perempuan bercelana training kumal yang dipanggil Mar itu. Perempuan
kurus itu, membuatnya tak habis pikir.
“Aku merasa budreg tenan* kemarin!” kata perempuan kurus lagi,”Yang gede*
mau masuk masuk SMP, butuh biaya banyak! yang nomer dua, tiga, dan
empat naik kelas, minta sepatu! yang ragil waktunya masuk TK! Aku dan bapakne
sepertinya sudah bekerja kliwat batas, tapi tetap saja itu tak
mencukupi, mau tidak mau harus sambil tambah cari utangan, aku kesana
kemari cari utangan…”
“Aku dari rumah Pak Bayan* cari utangan, tapi dia tidak bisa membantu karena anaknya juga masuk SMA dan yang besar kuliah to
itu? sampai dirumah orang tua itu sedang buang air sambil
merengek-rengek seperti bayi, minta makan! kamu tidak tahu seperti apa
rasanya merasakan keadaan begitu…kamu akan setanen*!”
“Aku mengerti Yu, hidup kita sama! jika aku jadi sampeyan, aku juga belum tentu bisa menghadapinya lebih baik dari sampeyan, tapi sekali lagi aku hanya berharap sampeyan bersabar dan tobat Yu ! kesusahan di dunia tak lama Yu, mestinya cukup di dunia saja kita merasakannya, jangan
sampai kita merasakannya juga di akhirat, karena kita menggunakan
kesusahan kita sebagai alasan untuk berbuat dosa…” kata perempuan yang
dipanggil Mar dengan suara bergetar.
Kini semua diam. Kedua-duanya, begitu juga lelaki muda.
Sebuah pembicaraan yang menyedihkan.
Tadi ia merutuk perempuan kurus yang berbicara seolah tanpa perasaan
itu. Tapi sedikitnya lelaki muda mengerti kini. Meskipun bukan sebuah
alasan untuk membenarkan si perempuan kurus, tapi apa yang dilakukannya
barangkali terbawa oleh tekanan kehidupan dan takdir yang melingkupinya.
Mungkin mudah bagi seseorang yang lain
dengan serta merta menyalahkan perempuan kurus itu. Tapi apakah ia bisa
melakukannya jauh lebih baik ketika ia menghadapi apa yang perempuan
kurus itu hadapi, tak seorangpun bisa menjaminnya.
Ah, andai ia punya jalan untuk perempuan
kurus itu. Agar tak terus menerus membiarkan hatinya kian membusuk dan
menyalahkan takdir. Membiarkan setan berkuasa dan menebar kebencian di
otaknya. Tapi tak ada…ia hanya bisa bersimpati padanya dan berharap,
kata-kata dari kawannya yang dipanggil Mar itu membantunya mengurai
kebencian yang terkumpul dan tersimpul oleh tekanan kehidupannya, oleh
pahitnya takdir.
Lelaki muda beranjak dari duduknya
diatas bak air besar itu. Cukup rasanya untuk hari ini, ia ingin pulang
dan tak lagi menyesali kenapa ia memilih pergi memancing, yang akhirnya
tak dilakukannya sama sekali.
Ia merasakan perasaan berbeda di banding
ketika pergi tadi. Setidaknya ia tahu kini, bukan hanya otaknya sendiri
satu-satunya yang penat tersumbat. Perempuan kurus itu rasanya lebih
penat segala-galanya.
Hmmm…sebenarnya dalam himpitan sekalipun
selalu ada celah yang bisa di syukuri, tapi kadang ia merasa tak peka
untuk menemukannya, kecuali terus menerus membicarakan himpitan itu
sendiri, sebagai satu-satunya hal untuk dikeluhkan…
Magelang, Agustus 2012
Mbako* : Tembakau
Lung* : Tanaman ubi jalar
Lombok* : Cabai
Kapri* : Kacang kapri
Lobis* : Kol, kobis
Kenci* : Selada air, sayuran yang tumbuh di persawahan yang basah
Sambel Pecel* : Sambal pecel
Nglongok* : Melongok dari pintu atau jendela
Ngambruk* : Jatuh sakit
Nyusahi* : Menyusahkan, membuat susah
Bapakne* : Bapaknya, untuk menyebut suami
Wa* : Uwa, uwak, pak de
Mbok sabar to Yu* : Bersabarlah kak
Ngendikane* : Katanya
Yu* : Mbakyu, kakak (perempuan)
Sampeyan* : Kamu, anda
Anak-e pirang-pirang
semega kabeh* : Anaknya banyak sedang doyan-doyannya makan
Sampeyan kok tegel to?
nyebut Yu, nyebut* : Kamu kok tega (sampai hati) menyebutlah kak, menyebut
Budreg tenan* : Pusing sekali, stress sekali
Gede* : Besar
Pak Bayan* : Pak kepala dusun
Setanen* : Kerasukan setan
Penulis :
anak kampung dikaki Gunung Sumbing, gersang dan dingin
Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/08/10/percakapan-menyedihkan-dua-perempuan/
Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/08/10/percakapan-menyedihkan-dua-perempuan/
Pengen tulisan kamu terbit di Kumpul Remaja? Silakan kirimkan tulisan kamu di Facebook Fanpage Kumpul Remaja atau di komentar di bawah postingan ini. Sertakan identitasmu baik itu facebook, twitter atau blog kamu.!
Makasi Atas karianya >>> sumpah bagus bagus ... ??
TERUS BERKARIA
makasih infor masinya nya dan karianya sip banget deh... ?