Ketegangan menyesak didadanya ketika ia hampir menyelesaikan tulisannya tadi. Dimana perasaan itu juga beradu dengan rasa cinta, rindu, sedih, kecewa, marah, cemburu, sesal, dan semua perasaan yang tak bernama, tapi ada. Ia hampir menghentikannya karena ia merasa kepalanya akan meledak, sebelum akhirnya ia mencoba untuk terus bergulat melewati hadangan sejuta perasaan yang menyerang seperti gelombang.
Biarlah kalau akhirnya aku memang akan menjadi gila dan benar-benar gila ! itu yang kemudian menguatkan pikirannya untuk menyelesaikan tulisannya.
Setidaknya ini selesai saat aku masih seseorang yang waras !
Sekarang tulisan itu telah selesai.
Hariman menutup buku hariannya dan lalu buku harian punya Herlina, almarhum istrinya. Buku harian yang ia temukan beberapa hari lalu, ketika ia berniat menyimpan semua benda-benda dan apa saja yang membuatnya sulit untuk menghapus kesedihan dari kematian istrinya. Ia baru tahu kalau Herlina memiliki buku harian dan mencatat semuanya disana. Yang tak tercatat barangkali hanya saat, ditangan siapa, dan bagaimana kematiannya.
Apa yang dituliskan Herlina dalam buku hariannya jauh lebih mengejutkannya ketimbang kematiannya yang mengenaskan. Ia hanya menemukan kesedihan dari kematian Herlina yang begitu tiba-tiba dengan cara yang menyedihkan, tapi ia juga menemukan luka, kekecewaan, kemarahan, rasa cemburu, dan penyesalan luar biasa dari apa yang ditorehkan Herlina di buku hariannya.
“Andai tak kau tulis buku harianmu yang durhaka itu, barangkali aku akan tetap mengenangmu sebagai seorang istri dan kekasih yang setia, sholehah, dan Ibu yang baik dari anak semata wayangku…”
“ Tapi kau tahu, Rupanya Tuhan tetaplah adil terhadap semua mata umatNya, tak ada satupun jengkal panggung dunia yang tak diperlihatkan-Nya, meskipun kadangkala Dia memilihkan waktu yang berbeda, tanpa umatNya harus tahu untuk alasan apa…” Hariman berbicara pada sebuah bingkai, didalamnya ada Herlina dengan senyumnya. Senyum yang selama ini selalu dirindukannya, tapi malam ini seakan berubah sebagai seringai yang melukai hatinya.
“ Kau bukan saja telah mengkhianatiku ! tapi kau telah membuatku menumpuk seonggok lagi dosa, karena semestinya ini adalah malam-malam dimana seharusnya aku memanjatkan doa untukmu, bukan menyesali perjalanan hidup kita, dan membiarkan setan merangkai kalimat-kalimat sumpah serapah untuk kuselipkan dalam kenangan akan dirimu…!”
Hariman terdiam dalam sendiri yang tak berdaya. Sedikitpun tak pernah ada dalam bayangannya bahwa ia hidup bersama seseorang yang begitu dicintainya tapi dalam senyum manisnya dan semua pelayanannya yang istimewa tersimpan sebuah sandiwara terlarang. Ia selalu memuji dan bersyukur atas anugerah Tuhan seorang istri yang cantik dan cerdas.
Ia tak menyadari bahwa Herlina cantik bermain dengan kecerdasannya menyembunyikan kebusukan dengan sempurna, sampai-sampai celah baginya untuk dapat melihat itu semua justru pada saat Herlina barangkali tengah berhadapan dengan Malaikat Pengadil.
Hariman mendengus, kini ia juga menyesali kebodohannya. Ya, Herlina telah membuatnya menjadi laki-laki paling bodoh, tak sedikitpun punya kepekaan. Tak mampu melihat gelagat apapun, tak mampu melihat bahwa senyum Herlina adalah seringai jahat, dan itu benar-benar melukai hatinya kini.
Hariman membaca lagi apa yang ditulisnya tadi. Yang hampir tak bisa diselesaikannya, oleh perang sengit yang berkecamuk. Hatinya kini seakan tempat lengang dan remang yang dipenuhi puing-puing dari segala yang telah hancur.
Catatan Untuk Istriku…
Sedikit saja untuk mengiring kepergianmu yang tiba-tiba. Kau tahu kau pergi disaat anakmu masih haus akan air susumu. Saat aku masih harus menempuh perjalanan panjang dan aku membutuhkanmu menemaniku berjalan berbekal cinta dan semangat ke tujuan, sebuah tempat yang bahagia, meski kita tak pernah tahu ada dimana, tapi aku percaya itu ada……….
Tentang cintaku sejak kita bertemu hingga saat kau tak berdaya dengan darah melumuri tubuhmu…..tak perlu kau tanya. Aku memberikan sebanyak yang aku punya, mungkin sebanyak rasa syukurku atas perkenannya Tuhan menggariskan takdir menjadikanmu sebagai pendamping hidupku.
Catatan ini mestinya berakhir disini dan kututup dengan doa semoga kau diberikan segala yang dibutuhkan seorang umat yang pergi menghadap Tuhannya, tempat yang terang dan indah, pundi-pundi untuk menerima semua kebaikanmu, hembusan angin untuk menghapus khilafmu, dan orang-orang baik yang akan menjadi teman sepimu disana, menanti hari-hari pengadilan agung….
Sayang sekali memang…kau telah memaksaku menuliskan sesuatu yang tak semestinya kuselipkan juga dalam catatan untuk mengiring kepergianmu. Meski tanpa kutuliskan ini sekalipun akan ada banyak hal yang barangkali menghambat dirimu untuk menghadap Tuhanmu. Sesuatu yang menghambat yang lahir dari semua perbuatan dan sandiwara kotormu dibelakangku. Sementara kau tiba-tiba saja pergi tanpa sempat kamu meminta maaf padaku, suami dan Imam dalam kehidupanmu yang telah kau khianati. Demi Tuhan aku memaafkanmu… tapi kau tahu, aku sangat terluka oleh pengkhianatan ini. Kau telah membuatku berada disebuah persimpangan antara mendoakanmu atau mencaci maki…itu pilihan sulit !
Kau telah pergi dengan cara yang menyedihkan, dengan drama yang menyedihkan. Kau meminta tanggung jawab laki-laki yang menitipkan benih di rahimmu. Dan laki-laki yang telah mengajarimu bersandiwara itu bukan saja merampas cintaku tapi juga dirimu. Dia membunuhmu dengan keji…
Mungkin memang ini yang harus menjadi akhir sandiwaramu, dan mungkin memang ini yang kau inginkan. Aku sedih atas kepergianmu, tapi aku juga terluka oleh semua yang kau catatkan. Mestinya kau tak mencatatkan itu, agar aku tak pernah tahu bahwa kau menyiumpan rahasia itu dibalik senyum dan pengabdianmu yang sempurna.
Jika kau sedang menyesal saat ini karena mencatatkan itu dibuku harianmu, aku bisa mengerti. Tapi satu hal yang harus kau tahu…Tuhan tak pernah membiarkan umatNya terus menari, ada kalanya juga harus menangis. Kau memilih untuk menari dibelakangku dan menangis saat semuanya sudah terlambat…!
Tapi bagaimanapun rasa cinta ini, kenangan akan dirimu, sedikitpun tak akan pernah aku kurangi rasa rinduku. Aku percaya rasa cinta ini seberapa besarnya akan kau sadari. Dan aku tak ingin ikut menghambat jalanmu kini…istirahatlah ! bawa dan dekaplah maafku setulusnya.
Tentang luka ini…biar waktu yang mengobati. Tuhan tidak pernah kehabisan tetes-tetes embun penyejuk untuk umatNya yang bersedia untuk mencoba menerima takdir, meski takdir itu menyakitkan…..
Terima kasih untuk segala yang kau berikan, aku percaya kau juga pernah mempersembahkan cinta yang tulus untukku.
Selamat jalan….
Hariman menghela nafas. Catatan itu disimpannya dalam folder yang ada dalam sebuah folder, dimana folder itu tersimpan dalam sebuah folder, lalu dinamakannya folder itu, ‘Catatan Untuk Istriku’.
Ia kemudian beranjak, si kecil Intan terbangun dan menangis.
Magelang, Mei 2012
Penulis :
Cerpen ini diambil dari : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/05/17/catatan-untuk-istriku/
0 komentar