Arin keluar dari kamar. Ia mencari dimana sosok ibundanya berada. Ternyata sang ibunda sedang di ruang jahit. Ia pun mengambil kursi plastik lalu mendudukinya tak jauh dari posisi ibundanya.
“Mak….”
Ada getar ketika Arin bersuara. Sang ibu langsung menghentikan aktivitasnya dan melihat ke arah Arin.
“Ada apa, Nak?”
“Mak. Aku pengen nonton konser musik.”
“Konser musik?! Dimana? Emang itu konsernya siapa?”
“Itu,” jawab Arin sambil menunjuk layar televisi yang kebetulan sedang menayangnya liputan tentang sang musisi.
Ibunda Arin memperhatikan tayangan itu dan baru berhenti ketika layar televisi berganti menayangkan pariwara.
“Itu artis dari mana? Emak kok jadi serem sendiri liat dandanannya?”
“Itu seni, Mak. Dia orang Amrik, tepatnya dari New York. Tuh artis emang udah nyentrik dari sononya.”
“Berapa harga tiketnya?”
“Macem-macem, Mak. Tapi Arin beli yang paling murah aja.”
“Iya, berapa itu?”
“Tujuh ratus lima puluh ribu.”
“Tujuh… berapa…?!”
Ibunda Arin tak percaya mendengar putrinya menyebutkan nominal harga tiket konser tersebut. Lalu Arin mengulang jawaban terakhirnya.
“Itu… banyak sekali, Nak. Sedikit lebih banyak dibanding yang harus kita bayar untuk sewa rumah kecil ini. Emak nggak punya duit segitu banyak.”
“Arin nggak minta duit sama Emak. Arin cuma minta ijin sama Emak buat nonton konser itu. Tiketnya Arin beli pake duit tabungan Arin di bank.”
“Apa?! Itu kan untuk persiapan kamu daftar kuliah, Nak. Emak nggak setuju kamu pake duit itu. Uang itu kan kita kumpulin dari bertahun-tahun yang lalu. Masa kamu tega nguras tabungan cuma buat nonton konser?! Coba dipikir dulu, Nak. Emak nggak kepengen kamu nyesel nanti.”
“Tapi, Mak. Uang tabungan Arin cukup banyak. Arin pikir itu cukup buat urusan daftar kuliah nanti, dan masih ada sisa lumayan banyak. Lagian, Mak, Arin pengen banget nonton konser itu. Temen-temen Arin juga pada nonton. Jadi Emak nggak perlu khawatir.”
Ibunda Arin belum mengatakan apa-apa. Beliau belum mengijinkan ataupun memberi larangan. Namun Arin sudah terlanjur pergi. Arin bahkan tidak mencium tangan ibundanya ketika hendak pergi.
***
Di halaman parkir sebuah bangunan pertokoan, beberapa remaja putri sedang bergerombol dan membicarakan sesuatu dengan riuhnya.
“Ih, untung aja si Dwi mau ngantriin buat kita ya. Nggak kebayang gimana pegelnya kalo musti ngantri dari pagi sampe sore gini,” ujar seorang remaja putri yang bernama Ratih.
“Dwi bukannya bersedia ngantri secara sukarela,” sahut Mirna. “Waktu itu, gue sama Arin bikin kocokan kayak arisan gitu. Dan siapa yang namanya keluar, berarti dia yang ngantri. Nah kebetulan si Dwi yang kena.”
“Iya, Ratih. Elu sih, nggak nongol waktu bubaran sekolah kemaren. Kita bikin kocokannya di kantin bakso Mang Barjo,” ujar Arin.
“Ya maap. Kan gue udah bilang, kemaren gue dijemput bokap. Jadi nggak bisa gabung sama kalian. Lagian mana gue tau kalo kalian ngumpul buat ngundi siapa yang ngantri.”
“Hmm…,” gumam Arin.
Tak lama kemudian, dari salah satu pintu gedung, keluarlah seorang remaja putri dengan raut wajah kelelahan. Ia segera menghampiri gerombolan Arin dan teman-temannya.
“Ini, guys. Gue udah dapet tiketnya,” uajr Dwi sambil membagi-bagikan tiket konser kepada tiga temannya.
“Yuhuu. Makasih banget ya, Dwi,” kata Arin. “Gue pulang duluan ya. Nyokap udah nungguin di rumah,” sambungnya lagi.
Arin beranjak meninggalkan teman-temannya. Ia berdiri di tepi jalan sambil menengok ke kanan dan kiri, menunggu lalu lintas agak lengang untuk menyeberang. Ia masih memegang tiket itu ditangannya. Entah mengapa, Arin masih belum ingin memasukkan tiket itu ke dalam tasnya.
Dari arah kanan, lalu lintas sudah lengang. Maka Arin memberanikan diri untuk menyeberang. Namun Arin tidak melihat dari sisi kiri ada sebuah mobil yang menyalip kendaraan di depannya dengan kecepatan tinggi. Dan yang terjadi selanjutnya adalah suara hantaman yang cukup keras.
Di atas lapisan aspal yang masih hangat karena sisa terik tadi siang, mengalirlah cairan kental berwarna merah segar. Dan sepotong kertas yang beberapa saat yang lalu masih tergenggam di tangan Arin, kini sudah terbang entah kemana.
Penulis :
Cerpen ni diambil dari : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/05/19/rp-750-ribu-untuk-sepotong-kertas/
0 komentar