Deja Vu | Cermin

Diposting oleh Unknown Kamis, 07 Juni 2012

Sesaat lalu aku memaki. Hidup punya beribu alasan untuk disyukuri dan dinikmati, tapi untuk saat ini aku punya lebih banyak alasan untuk tidak merasakan semua itu. Sarapan pagiku terdiri dari makian-makian atasan untuk keterlambatan materi promosi yang notabene adalah kesalahannya sendiri. Makan siangku berlumur gunjingan dari mereka yang lebih senang bergosip, tentang betapa tidak pantasnya aku dipromosikan sebagai Media Relations Officer yang baru, daripada menyelesaikan pekerjaan mereka sendiri. Sore ini ditutup dengan menuruni ratusan (mungkin ribuan) anak tangga dari lantai 20 karena tepat di lift gedung tertulis out of order.

Rupanya itu masih belum cukup. Setelah terbebas dari rangkaian tangga yang seolah tanpa ujung itu, langit di luar gedung menyambutku dengan gelap. Angin sedang bersemangat rupanya. Ia menampar-nampar kulit dengan tangan dinginnya. Dan rupanya awan kemudian bergabung dengannya. Berkolaborasi membuat soreku menjadi lebih buruk. Tes..tes…tes…tak butuh waktu lama untukku menyadari bahwa sesuatu yang basah dan dingin menetes di tengkuk, punggung tangan, dan tepat saat aku mendongakkan kepala langit mengguyurkan airnya seketika. Bagus…! Terlambat sampai rumah saat Ayah sedang giat-giatnya mengataiku L.I.A.R hanya karena terlalu sering pulang malam.

Spontan aku berlari kembali ke dalam gedung. Merogoh-rogoh ke dalam tas dan tersadar bahwa tidak ada payung, apalagi jas hujan disana karena mereka pastinya sedang bertengger manis di atas mejaku di lantai 20 setelah tadi aku membongkar tasku mencari ponsel. Siaaal! Sesaat aku mempertimbangkan untuk kembali kesana dan bercengkrama lagi dengan ratusan anak tangga itu, tapi kemudian bus untukku pulang berhenti tepat di depan gedung. Sekarang, atau 2 jam lagi…ujarku sambil berlari menembus hujan dan angin yang begitu riuh bersuara. Dengan satu lompatan aku sudah ada di dalam bus yang penuh sesak. Jangan berharap ada tempat duduk. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya supaya bisa berdiri dengan benar.

Hujan dan macet ada dalam satu paket menyebalkan yang tak terpisahkan dari hidup di kota Jakarta. Dalam keadaan ini, paket itu akan kuberi tambahan: berdesakan. Udara, satu-satunya harapan untuk bisa tetap hidup di tengah jejalan manusia dalam bus ini, rupanya tak banyak membantu. Tepat di sampingku seorang lelaki, yang mengangkat tangannya untuk berpegangan pada besi yang menggantung di langit-langit bus, menguarkan bau-bau yang membuat mual.

Bau itu berelaborasi dengan udara pengap khas hujan dan sukses membuatku sesak. Mataku sedikit berkunang-kunang saat kemudian gelombang penumpang baru masuk ikut berjejalan. Aku terhimpit dan seseorang menginjak kakiku. Damn!! Aku merutuk dan bersumpah serapah dalam hati. Aku benar-benar memaki hari ini. Tuhaaann..ada apa dengan hari ini…?? Batinku. Sampai akhirnya…

Mataku terpaku pada satu titik. Ya Tuhan…

Dia….

disana…

Persis di samping tempatku berdiri dan hanya berjarak tiga bangku, matanya yang terbingkai kacamata terpejam damai. Wajahnya tampak lelah. Janggut halus di dagunya sedikit tertiup angin. Tangannya mendekap ransel bagai guling. Sesaat lalu aku memang memaki…tapi pemandangan itu tiba-tiba membalik segalanya. Bus penuh sesak ini tiba-tiba terasa lapang. Hanya ada aku dan dia.  Ribuan lampu dari mobil-mobil yang terjebak macet menjelma jadi aurora yang cantik. Ratusan pohon dan kabel-kabel tiang listrik yang digoyah angin tiba-tiba terlihat seperti menari. Aku seakan bisa mendengar denting piano mengalun lembut dalam kepalaku. Itu dia…dia…

Siapa? Aku berpikir keras. Mengingat-ingat. Itu dia. Siapa? It’s him…you know him… Ya..tapi siapa? Kurasakan suara-suara di dalam kepalaku berdebat. Kuperhatikan ia lekat-lekat. Rambut plontos itu, hidung mancung itu, janggut halus itu, kacamata berbingkai hitam itu…dan ya Tuhan…tanda lahir seperti bercak di pergelangan tangan kanannya. Sesuatu yang hangat mendesak ingin keluar dari mata. Kurasakan dadaku sesak…tapi aku hanya…hanya…

…..ingin tersenyum.

Aku tahu, rindu itu telah terbayar…Ini sudah lebih dari cukup. Tapi siapa dia? Aku terus berpikir keras sampai tiba-tiba sebuah suara memekakkan telinga dan semua di dalam bis menjerit ngeri. Sesuatu menghantam kepalaku dari atas…dan semua gelap.


Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2012/05/05/deja-vu/

Itulah Cermin 'Deja Vu', semoga kalian bisa menikmatnya.

Pengen tulisan kamu terbit di Kumpul Remaja? Silakan kirimkan tulisan kamu di Facebook Fanpage Kumpul Remaja atau di komentar di bawah postingan ini. Sertakan identitasmu baik itu facebook, twitter atau blog kamu.!

Share on :


Artikel Terkait:

0 komentar

Posting Komentar

Adsense Indonesia

Followers

Berita Populer Minggu Ini